Oleh: Bambang Dibyo Wiyono
Posted: 26 Mei 2014
A. PRINSIP PRAKTIS BERKENAAN DENGAN PENYIAPAN
1. Tujuan Umum Riset: Menemukan Kebenaran Ilmiah
Menurut Mappiare (2009:64) tujuan umum semua riset, baik kuantitatif maupun kualitatif adalah mencari dan menemukan kebenaran yang bersifat ilmiah (saintifik). Earl Babbie dalam Stober (2005) menyebutkan: “There are three main purpose or approaches to conducting research in social sciences: exploration, description, and explanation”. Artinya, ada tiga tujuan pokok orang melakukan riset dalam keilmuan sosial: eksplorasi, deskriptif dan eksplanasi. Patten (2007:13) menawarkan konsepsi lain yang menunjukkan perbedaan tujuan dan perhatian riset kualitatif dan kuantitatif seperti diadaptasi dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.1. Perbedaan tujuan umum dan perhatian riset kualitatif dan kuantitatif.
Aspek |
Kualitatif |
Kuantitatif |
Tujuan |
DeskripsiEksplanasi
Eksplorasi |
Prediksi
Kelaziman
Generalisasi |
Perhatian |
Bagaimana orang menafsirkan, membuat pengertian, dan memberi reaksi terhadap pengalaman mereka |
Kuantitas hubungan spesifik dalam sebuah populasi berdasarkan ukuran yang diperoleh dari sebuah sampel |
Menurut Mappiare (2009:66) tataran tujuan riset kualitatif yaitu:
a. Eksplorasi
Tataran tujuan ini bertujuan melakukan pendalaman pengetahuan mengenai suatu gejala. Termasuk di sini juga penjajakan sesuatu (dalam bidang ilmu, disiplin, profesi) yang dipandang sebagai wilayah baru. ‘Wilayah baru’, sering disebut blind spots ikhwal keilmuan itu ditandai dengan belum banyak riset mengenai isu itu. Produk dari tataran tujuan ini adalah lebih pada menemukan suatu istilah/term baru dan konsep atau konstruk baru untuk suatu bidang ilmu.
Contoh: Eksplorasi Strategi Pengubahan Sikap dalam Pantun Etnis Betawi
b. Deskripsi
Tujuan deskripsi adalah upaya melukiskan, memaparkan atau menguraikan keadaan fenomena yang sudah dan sedang berlangsung. Riset ancangan apapun yang berada dalam tataran tujuan ini menghindari mengemukakan penjelasan kemengapaan terjadi suatu fenomena sehingga menjadi sedemikian, apalagi meramalkan bagaimana peluang eksistensi fenomena dimaksud pada masa datang.
Produk dari tataran tujuan ini adalah (mungkin) menemukan suatu kategori fenomena berupa term dan konsep atau konstruk baru atau (secara pasti) menggambarkan kembali, mengklarifikasi, keberadaan term/konsep/konstruk yang sudah ada. Selain itu riset pada tataran ini juga menghasilkan pelukisan sementara ikhwal saling-kait antarkategori yang umumnya masih bersifat hipotetik.
c. Eksplanasi
Eksplanasi merupakan tataran tujuan ‘tertinggi’ dan terkompleks suatu riset. Secara harfiah, eksplanatif berarti bersifat menjelaskan. Dalam riset keilmuan, secara umum, ini berarti penjelasan mengapa (‘latar belakang’ atau ‘peranan’ atau ‘fungsi’ menurut bahasa kualitatif). Eksplanasi juga mencakup penjelasan akan seperti apa (‘proses lanjut’ menurut kualitatif) mengenai suatu fenomena. Riset eksplanatif menghasilkan penjelasan berupa proposisi yang sudah terkaji secara mendalam, ‘teruji’, sekurang-kurangnya dalam batas ruang lingkup penelitian yang dimaksud. Ketika peneliti sampai pada tujuan eksplanasi maka peneliti itu sudah memasuki bangunan teori.
Contoh: Koneksitas Otoritas Sekolah dan Keberdayaan Konselor: Upaya Memahami Pemahaman Praktisi Konseling.
Menurut Denzin dan Lincoln (2000:136) ada empat paradigma yang bersaing dalam penelitian kualitatif yakni: positivisme, post-positivisme, teori kritis, konstruktivisme. Masing-masing paradigma memiliki maksud dan tujuan penelitian.
Tabel 2.2. Paradigma Penelitian Kualitatif
Paradigma |
Tujuan |
Positivisme |
Menjelaskan yang pada akhirnya memungkinkan untuk memprediksi dan mengendalikan fenomena (fisik atau manusia) |
Post-positivisme |
Teori Kritis |
Kritik dan transformasi struktur sosial, politik, budaya, ekonomi, etnis, dan gender yang mengekang serta menindas umat manusia, melalui dalam upaya perlawanan, bahkan konflik. |
Konstruktivisme |
Memahami dan merekonstruksi berbagai konstruksi yang sebelumnya dipegang orang (termasuk peneliti) yang berusaha ke arah konsensus namun masih terbuka bagi interpretasi baru seiring dengan perkembangan informasi dan kecanggihan. |
2. Peran Nilai dalam Penelitian
Menurut Mappiare (2009:70) kebenaran ilmu bersifat multi-paradigmatik menjadi alasan perlunya riset kualitatif. Latar belakang munculnya isu multi-paragdigmatik adalah kerasnya keyakinan objektivistik/positivistik yang mengakui sesuatu kajian sains dengan persyaratan hypothetico-deductive. Maksudnya, suatu kajian disebuat sains/ilmiah kalau masalahnya ditarik secara deduktif dan masalah diuji secara empirik dengan perangkat pengukuran. Reaksi terhadap hal tersebut, muncullah keyakinan bahwa kebenaran yang sesungguhnya adalah kebenaran dari ‘bawah’, realitas alamiah dari subjek, penghayatan dan pemahaman subjek sendiri.
Kebenaran yang multi-paradigmatik akan membawa soal nilai (value) dalam riset kualitatif: Apakah pengembangan ilmu melalui riset kualitatif adalah berposisi lekat nilai (value-bonded), sarat-nilai (value-laden), relevansi-nilai (value-relevance); atau sebaliknya berposisi netralitas-nilai (value-neutrality), bebas-nilai (value-free, value-freedom)? Menurut Mappiare (2009:72), Denzin & Lincoln (2000), dan Lincoln & Guba (1985:37) peran nilai dalam penelitian ada dua yaitu:
a. Paradigma Positivistik-Objektivistik (Ilmiah): Bebas Nilai (Value-Free)
Paradigma ini menyakini bahwa agar ilmu itu objektif haruslah tetap fokus pada soal betul-salah (true-false), bukan soal bagus-jelek (good-bad), bukan pula soal benar-buruk/berbahaya (right-wrong/harm). Peneliti paradigma positivistik-objektivistik harus bebas dari tekanan moral, paksaan luar terhadap pertimbangan bagus-jelek atau benar-buruk. Dengan kata lain, peneliti harus memiliki otonomi individual.
b. Paradigma Interpretif-Subjektivistik (Alamiah): Lekat-Nilai (Value-Bonded)
Paradigma ini sangat peduli pada persoalan nilai karena objek yang diteliti yaitu manusia atau berkaitan dengan manusia, keadaan yang mengharuskan peneliti memperhitungkan baik-buruk proyek risetnya dari segi moral. Menurut Lincoln dan Guba (1985:38) ada 5 peranan nilai dalam penelitian kualitatif (naturalistic inquiry):
1) Inkuiri dipengaruhi oleh nilai-nilai peneliti sebagaimana yang dinyatakan dalam pemilihan masalah dan dalam menyusun kerangka, mengikat, dan memfokuskan masalah itu.
2) Inkuiri dipengaruhi oleh pemilihan paradigma yang membimbing ke arah penentuan masalah.
3) Inkuiri dipengaruhi oleh pemilihan teori substantif yang dimanfaatkan guna membimbing pengumpulan dan analisis data serta penafsiran penemuan.
4) Inkuiri dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berada dalam konteks.
5) Atas dasar nomor 1-4 di atas maka inkuirinya beresonansi nilai (penguatan atau kongruen) dan berdisonansi nilai (bertentangan).
Sebagai catatan saja, McLeod (2003:167) mengatakan: “It is impossible to design ethically neutral research. All research making value decisions which may be in conflict with the beliefs and value of some other people”. Pertimbangan nilai dalam rencana dan rancangan riset yang memiliki relevansi nilai demikian ini memungkinkan adanya konflik keyakinan dan nilai dengan beberapa orang lain. Misal: mahasiswa dengan dosen pembimbing skripsi.
Kaidah penelitian kualitatif yang lekat nilai mengandung beberapa penegasan di antaranya oleh Taylor dan Bogdan (1984:71): “The literature on research ethics generally support a noninterventionist position in fieldwork”. Yang dimaksud dengan “netralitas nilai” di sini adalah penempatan nilai-nilai seperti hubungan baik, kekerabatan, bahka kesamaan ideologi (sebagai hal yang potensial berpengaruh) ke dalam posisi yang netral sehingga tidak mempengaruhi pemaknaan.
3. Peneliti Sebagai “Instrumen” dalam Riset
Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif sangat potensial sebagaimana pernyataan Taylor dan Bogdan (1984:7): “Qualitative methods are humanistic”. Sependapat dengan ini, Hoepfl (1997:49): “The researcher acts as the ‘human instrumen’ of data collection”. Berdasarkan hal tersebut ada penegasan Mappiare (2009:76-77) bahwa:
“Bertolak pada keyakinan optimistik mengenai hakekat manusia dari filsafat idealisme, eksistensialisme atau humanisme, maka manusia khususnya peneliti itu sendiri dipandang memiliki potensi ide dan sifat-sifat baik untuk dapat menjadi instrumen mandiri dalam riset kualitatif. Potensi ide dimaksud mencakup kesadaran berarah-tujuan (teleologik), kemampuan berpikir utuh-menyeluruh (holistik), kemampuan mengelola detail-detail, kecakapan menyusun klarifikasi, proses-proses langsung dan seketika, daya apresiasi untuk mengeksplorasi jawaban lain dari pandangan yang sudah lama diterima, yaitu pemikiran khas (idiosyncrasy), dan menjangkau pemahaman lebih dalam.”
Senada dengan hal tersebut, Taylor dan Bogdan (1984:8) menyatakan: “Qualitative researchers are flexible in how they go about conducting their studies. The researchers are craftperson.” Para peneliti kualitatif itu fleksibel dalam hal bagaimana mereka melaksanakan kajian-kajian mereka. Para peneliti (kualitatif) adalah pribadi-pribadi yang terampil atau handal. Dengan kata lain, peneliti dipandang mampu melihat masalah dalam fenomena lapangan, melalui intuisi dan imajinasinya. Peneliti dipandang kreatif mengembangkan masalah secara cermat dan dapat mengumpulkan keterangan serta mendeskripsikan dan merefleksikannya secara terpercaya sehingga disebut sebagai “instrumen utama”.
4. Hipotetis Bersifat Fleksibel menuju Kebenaran Ilmiah
Istilah ‘hipotesis’ lebih dikenal dalam riset kuantitatif dan dihindari pemakaiannya dalam riset kualitatif. Namun Mappiare (2009:79) mengatakan bahwa sepanjang pengertian ‘hipotesis’ itu adalah dugaan sementara tentang keadaan sesuatu fenomena maka di sini diyakini bahwa riset kualitatif pun mengoperasikannya. Realitas komunikasi ilmiah yang memerlukan pertanggungjawaban dan intersubjektivitas mengharuskan peneliti kualitatif bersiap-siap menjelaskan arah dan proses (dinamika) penelitian dan potensi temuannya, berupa “hipotesis implisit”.
Menurut Mappiare (2009:79-80) ada dua jenis hipotesis dalam riset kualitatif yaitu:
a. Hipotesis umum/abstrak (abstract hypothesis)
Yaitu arah kajian atau abstraksi dan kemungkinan temuan. Hipotesis ini lazim ditulis peneliti dalam rencana atau usulan proposal penelitian kualitatif dengan label ‘abstraksi arah kajian’.
b. Hipotesis lapangan (field hypothesis)
Yaitu dugaan-dugaan jawaban sementara dari sub-sub pertanyaan penelitian di lapangan. Hipotesis ini berdasarkan fenomena lapangan, sehingga belum diketahui sebelum pelaksanaan penelitian. Hipotesis lapangan bersifat fleksibel (bisa bertahan dan bisa gugur) sejalan dengan konfirmasi data dan analisis di lapangan.
Hipotesis yang ‘bertahan’ dapat memunculkan banyak cabang ‘hipotesis’ sejalan dengan pendalaman deskripsi data dan kekomplekan lingkup interpretasi. Hipotesis-hipotesis tersebut berubah dan berkembang dalam proses pengumpulan data dan analisis data sampai ditemukannnya suatu ‘kesimpulan menetap’ (kebenaran ilmiah).
B. PRINSIP PRAKTIS BERKENAAN DENGAN PROSES PELAKSANAAN
1. Analisis Deskriptif-Interpretif, Reflektif dan Pemaknaan
Menurut Mappiare (2009:80-81) sifat analisis dalam riset kualitatif adalah penguraian atau penggambaran apa adanya fenomena yang terjadi (deskriptif) disertai penafsiran terhadap arti yang terkandung di balik yang tampak (interpretif). Peneliti melakukan analisis interpretif dengan mengandalkan daya imajinasi, intuisi, dan daya kreasi peneliti dalam proses yang disebut reflektif dalam menangkap makna yang diberikan oleh subjek terteliti. Senada dengan hal ini, Hoepfl (1997:49) mengatakan: “Qualitative research has an interpretive character, aimed at discovering the meaning events have for the individuals who experience them, and the interpretations of those meanings by the researcher.” Riset kualitatif memiliki ciri interpretif, bertujuan menemukan makna peristiwa yang ada pada individu-individu yang mengalaminya, dan interpretasi-interpretasi makna itu oleh peneliti. Cara demikian dilakukan untuk menemukan arti abstrak sesuatu yang disebut pemaknaan, penarikan makna.
Untuk melakukan interpretasi, refleksi dalam pemaknaan, peneliti mengandalkan kemahiran menghayati penghayatan orang lain atau memahami pemahaman orang lain, diistilahkan verstehen (bahasa Jerman, diperkenalkan pertama kali oleh Wilhelm Dilthey, lalu Max Weber, filosof/sosiolog), atau dalam bahasa Inggris disebut emphatic-understanding atau ‘empati’ saja (Carl Rogers). Informasi persis dan agak lengkap menyebutkan verstehen sebagai:
A method of interpreting or understanding other people through an intuitive understanding of symbolic relationships derived from adopting the point of view of the people being studied. It was originally put forward by the German philosopher Wilhelm Dilthey (1833-1911) who argued that the ultimate goal of the human or mental sciences (Geisteswissenschaften) is understanding, whereas that of the natural sciences (Naturwissenschaften) is explanation (Erklarung) …[From German verstehen to understand] (Oxford University Press dalam Mappiare, 2009)
Artinya: (verstehen merupakan) suatu metode menafsirkan atau memahami orang lain dengan cara pemahaman intuitif mengenai hubungan-hubungan simbolik yang diperoleh melalui menyerap atau mengadopsi sudut-pandang orang-orang yang diteliti. Hal demikian ini pada awalnya dikemukakan oleh filosof Jerman, Wilhelm Dilthey (1833-1911), yang menegaskan bahwa tujuan akhir dari ilmu-ilmu mental atau humaniora adalah pemahaman, sementara tujuan akhir ilmu-ilmu alam adalah eksplanasi.
2. Kedudukan Penting Konteks, Intensi, dan Proses
Menurut Day dalam Mappiare (2009:83) konteks peristiwa atau fenomena, proses peristiwa, dan intensi subjek adalah sangat penting dalam analisa data atau interpretasi kualitatif. Pendapat lengkap Day yakni:
- Meanings are context-dependent
- Meanings are always negotiable between different observers
- In social science we can ask subjects what they mean
- Process involves analysing changes over time
- Change can be analised through phases, key incident or the complex interplay of factors
- Material as well as social factors affect change (Day, dalam Mappiare 2009:84)
Artinya: (1) Makna-makna adalah bergantung konteks; (2) Makna-makna adalah selalu dapat dinegosiasikan di antara beberapa pengamat yang berlainan; (3) Dalam ilmu sosial kita dapat menanyakan para subjek apa yang mereka maksud; (4) Proses melibatkan penganalisaan perubahan sepanjang waktu; (5) Perubahan itu dapat dianalisis berdasarkan fase-fase, kejadian kunci, atau saling-hubungan kompleks faktor-faktor; (6) Material sebagaimana pula faktor-faktor sosial adalah mempengaruhi perubahan.
Menurut Mappiare (2009:85) terkait pentingnya konteks dalam riset, kegiatan kongkrit yang dilakukan peneliti ketika menghadapi fenomena yang ditampakkan subjek terteliti adalah menginterpretasikan makna. Peneliti berusaha, biasanya juga spontan, menemukan makna di balik yang tampak – entah ucapan, tindakan, atau gerak spesifik – pada subjek terteliti. Makna seketika atau langsung (immadiacy) ini adalah sangat lekat konteks.
Menurut Mappiare (2009:86-87) dua unsur penting lainnya yang ikut menentukan makna adalah proses dan intensi. Proses menunjuk pada apa peristiwa terkait sebelum dan setelah ucapan atau tindakan subjek. Intensi atau maksud suatu ucapan atau tindakan yang teramati dapat diperoleh dari isyarat menyertai ucapan atau tindakan. Sumber sangat valid dari keterangan mengenai intensi adalah penjelasan aktor terteliti mengenai ‘apa maksud dari ucapan dan tindakannya’.
C. PRINSIP PRAKTIS BERKENAAN DENGAN PENYELESAIAN RISET
1. Validasi Intersubjektif, Kredibilitas, Konfirmabilitas, dan Triangulasi
Menurut Mappiare (2009:87) untuk menunjukkan sifat validitas intersubjektif dalam riset kualitatif, secara umum dikenal adanya tataran validitas:
a. Validitas faktual/deskriptif
Yaitu validitas menyangkut kebenaran yang ditulis, didekripsikan, menulis apa yang seharusnya ditulis atau mendeskripsikan apa yang seharusnya didekripsikan.
b. Validitas interpretasi
Validitas ini bermaksud mempertahankan kebenaran, yaitu dilakukan penginterpretasian sejauh hal itu masih dalam batas mewakili secara cermat penampakan fenomena psiko-sosial darimana landasan interpretasi itu.
c. Validitas simpulan/transendental
Yaitu kebenaran simpulan temuan, kesimpulan yang didukung interpretasi benar dari deskripsi data yang benar.
Untuk memudahkan pemahaman kita, Lincoln dan Guba (1985:328) menghubungkan kriteria riset kualitatif dengan konvensional: “…..’credibility’ (in place of internal validity), ‘transferability’ (in place of external validity), ‘dependability’ (in place of reliability), and ‘confirmability’ (in place of objectivity)”…..Maksudnya “kredibilitas” (sama dengan validitas internal), “tranferbilitas” (sama dengan validitas eksternal), “dependabilitas” (sama dengan reliabilitas), dan konfirmabilitas (sama dengan objektivitas). Menurut Lincoln dan Guba (1985:328) teknik untuk menentukan kelayakan dipercaya (valid) ada 5 yaitu:
Tabel 2.3. Ringkasan Teknik Untuk Menentukan Kelayakan Dipercaya (Valid)
Criterion Area |
Technique |
Credibility |
(1) Activities in the field that increase the probability of high credibility
(a) prolonged engagement
(b) persistent observation
(c) triangulation (sources, methods, and investigator)
(2) peer debriefing
(3) negative case analysis
(4) referential adequacy
(5) member checks (in process and terminal) |
Transferability |
(6) thick deskription |
Dependability |
(7a) the dependability audit, including the audit trail |
Confirmability |
(7b) the confirmability audit, including the audit trail |
All of the above |
(8) the reflexive journal |
Kredibilitas/derajat kepercayaan berfungsi untuk menggali data dengan tingkat akurasi yang tinggi agar tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai. Adapun teknik untuk menetukan kredibilitas ini meliputi: (1) Aktivitas di lapangan untuk meningkatkan kemungkinan kredibilitas yang tinggi: (a) perpanjangan keikutsertaan; (b) ketekunan dalam observasi; (c) triangulasi atau konfirmasi, (2) pengecekan sejawat dan (3) analisis kasus negatif, (4) kecukupan referensi; (5) cek keanggotaan (saat proses dan final).
Terkait dengan keberterimaan data dikenal istilah konfirmabilitas/ kepastian. Konfirmabilitas adalah kriteria untuk menilai kualitas hasil penelitian dengan penulususran atau pelacakan catatan/rekaman data lapangan dan koherensinya dalam interpretasi dan simpulan hasil penelitian.Dalam kualitatif persoalan objektivitas dan subjektivitas sangat ditentukan oleh seseorang. Peneliti diakui memiliki pengalaman subjektif. Namun, bila pengalaman tersebut juga disepakati beberapa orang, maka pengalaman peneliti bisa dipandang objektif. Teknik untuk mengukur konfirmabilitas ini dilakukan dengan cara audit kepastian.
Upaya melukiskan kebenaran tradisi kualitatif, menurut J. Kirk dan M. Miller, sebagaimana pada riset kuantitatif, terdapat dua tipe kesalahan:
a. Kesalahan tipe-1 yaitu meyakini suatu pernyataan adalah benar padahal pernyataan itu tidak benar – dalam istilah statistik, ini berarti menolak hipotesis nol, H0 yang menyatakan tidak ada hubungan antarvariabel, padahal H0 itu adalah benar.
b. Kesalahan tipe-2 yaitu menolak suatu pernyataan yang pada kenyataannya adalah benar – sama dengan menerima H0 padahal H0 itu salah (dalam Silverman, 1994:149).
Menurut Mappiare (2009:88) untuk menghindari kesalahan demikian, dilakukan validasi internal melalui tiga teknik khusus : (1) Triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya; (2) Memaparkan kembali hasil dari suatu interpretasi/refleksi pada subjek yang diteliti. Jika subjek sepakat atau menyetujui interpretasi/refleksi yang dibuat maka peneliti boleh yakin bahwa hasilnya adalah benar-khususnya pada validasi interpretasi, ini dikenal dengan cara intersubjektivitas; (3) Membawa hasil pemaknaan yang lebih abstrak dalam diskusi dengan orang luar, kolega (outsider), untuk dibandingkan dengan kesetujuan subjek yang diteliti (insider). Jika terjadi kesepahaman dan kesepakatan pada beberapa pihak maka peneliti boleh yakin bahwa pernyataan simpulan yang bersifat ‘transeden’ itu benar, khususnya pada validasi simpulan atau transedensi. Itu dikenal dengan peer-review, atau comparative insiders-outsiders view, sebagai perluasan dari konsep intersubjektivitas.
Konsep triangulasi sebenarnya lebih luas seperti pernyataan Denzin dalam Berg (2009:7) triangulasi adalah:
“…..triangulation actually represents varieties of data, investigators, theories, and methods…….. (1) Data triangulation has three subtypes: (a) time, (b) space, (c) person. Person analysis, in turn, has three levels: (a) aggregate, (b) interactive, and (c) collectivity. (2) Investigators triangulation consists of using multiple rather than single observers of the same object. (3) Theory triangulation consists of using multiple rather than simple perspectives in relation to the same set of objects. (4) Methodological triangulation can entail within-method triangulation and between-method triangulation. ”
Pada kesimpulannya, validitas dalam riset kualitatif adalah kesepakatan intersubjektivitas yang berpatokan pada paham-harmoni, interaksi atau kesepakatan paham antara pandangan atau penghayatan dan pemahaman aktor yang diteliti dengan pandangan aktor lain.
2. Dependabilitas, Transferabilitas, dan Refleksitivitas Hasil Penelitian
Riset kualitatif menghasilkan suatu simpulan-simpulan berupa konsep atau konstruk, proposisi maupun teori baru, atau simpulan padanan dengan yang sudah ada, hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kontribusi secara teoritik maupun praktik yang memiliki daya guna dalam berbagai disiplin ilmu. Terkait dengan daya guna atau hasil penelitian dikenal istilah dependabilitas. Dependabilitas/kebergantungan adalah kriteria untuk penelitian kualitatif apakah proses penelitian bermutu atau tidak. Cara untuk menetapkan bahwa penelitian dapat dipertanggungjawabkan proses penelitian yang benar ialah dengan audit dependabilitas guna mengkaji kegiatan yang dilakukan peneliti. Dalam penelitian kualitatif, alat ukur bukan benda, melainkan manusia atau si peneliti sendiri. Teknik yang biasa digunakan untuk mengukur dependabilitas adalah auditing, yaitu sebagai teknik pemeriksaan data yang sudah dipolakan.
Hasil dari riset kualitatif berupa proposisi atau teori yang merupakan ciri khas dari suatu komunitas dan khas lingkup tempat suatu penelitian. Dalam riset kualitatif tidak bertujuan untuk menggeneralisasikan secara luas, namun terbatas pada subjek terteliti, komunitas khusus atau suatu lingkup khusus. Para pemakai (user) dari penelitian kualitatif, akan mencoba memahami dan menghayati temuan riset itu kemudian memutuskan untuk menerima atau mungkin menolak memberlakukan atau menggunakan temuan tersebut bagi subjek atau komunitas dalam lingkup yang lain.
Dalam tradisi kualitatif dikenal adanya pemeriksaan transferabilitas atau generalisabilitas. Konsep ini berguna untuk menggeneralisasi hasil penelitian yang dalam penelitian kuantitatif dikenal sebagai validitas eksternal. Namun, dalam penelitian kualitatatif generalisasi tidak dipastikan. Transferability hanya melihat faktor ”kemiripan” sebagai kemungkinan terhadap situasi-situasi yang berbeda. Untuk menerapkan penelitian dengan tingkat transferability yang memadai, teknik yang ditempuh adalah lewat ”deskripsi yang mendalam” (thick description).
Suatu temuan atau simpulan dari riset kualitatif yang valid secara eksternal memiliki daya tranferabilitas yang baik dan berlaku secara luas untuk pemakai jika: (1) karakteristik subjek atau komunitas suatu lingkup baru yang hendak dijelaskan oleh pemakai itu adalah sesuai dengan karakteristik subjek atau komunitas pada suatu riset kualitatif terdahulu yang akan ditransfer simpulannya itu; (2) abstraksi makna riset terdahulu yang akan diperiksa transferabilitasnya itu, selama didukung data adalah cukup tinggi dan mempunyai jangkauan luas, jadi semakin asbtrak suatu simpulan maka makin lebar daya transfernya dan makin luas generalisabilitasnya.
DAFTAR RUJUKAN
Berg, B.L. 2009. Qualitative Research Methods for Social Science (7th Ed). Boston: Pearson Education, Inc.
Bogdan, R.C dan Biklen, S.K. 2003. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Pearson Education Group, Inc.
Denzin, N. K. & Lincoln, Y. S. (Eds). 2000. Handbook of Qualitative Research. California: Sage Publications.
Hoepfl, M.C. 1997. ‘Choosing Qualitative Research: A Primer for Technology Education Researchs’. Journal of Technology Education, Vol. 9 No.1. Tersedia pada 2007: http://scholar.lib.vt.edu/ejournal/JTE.
Mappiare-AT, A. 2009. Dasar-dasar Metodologi Riset Kualitatif Untuk Ilmu Sosial dan Profesi. Malang: Jenggala Pustaka Utama & FIP UM.
McLeod, J. 2003. Doing Counselling Research. Bonhill Street, London: Sage Publications, Ltd.
McLeod, J. 2001. Qualitative Research in Counseling and Psychotherapy. London: Sage Publication Ltd.
Moleong, L. J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Lincoln, Y.S. & Guba, E.G. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hill, California: Sage Publications, Inc.
Patten, S. 2007. ‘From “Mumbo Jumbo” to Engagement: Building Youth’s Literacy in Research Methods,’Powerpoint. Tersedia pada 2007: http://www.youthaidscoalition.org
Silverman, D. 1993. Interpreting Qualitative Data: Methods for Analysing Talk, Text, and Interaction. London: Sage Publications.
Stober, D. R. 2005. ‘Approach to Research on Executive and Organizational Coaching Outcomes – Feature’, International Journal of Coaching in Organizations, 3(1), pp. 6-13. Tersedia pada 2007: http//som.utdallas.edu/executive/coaching/cnews2//issue_008/feature.htm
Taylor, S.J. dan Bogdan, R. 1984. Introduction to Qualitative Methods, Second Edition. New York: John Wiley & Sons.
-7.299296
112.676471