RSS

Permendikbud 160 Tahun 2014: Pemberlakuan K-2006 & K-13


Permendikbud 160 Tahun 2014 mengatur tentang pemberlakuan Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013.  Satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang melaksanakan Kurikulum 2013 sejak semester pertama   tahun pelajaran 2014/2015 kembali melaksanakan Kurikulum Tahun 2006 mulai semester kedua tahun pelajaran 2014/2015 sampai ada ketetapan dari Kementerian untuk melaksanakan Kurikulum 2013.

Satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah dapat melaksanakan Kurikulum Tahun 2006 paling lama sampai dengan tahun pelajaran 2019/2020. Lebih jelasnya silakan download link di bawah ini.

Permendikbud 160 tahun 2014

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 13 Desember 2014 inci Uncategorized

 

KONSELING SINGKAT BERFOKUS SOLUSI (Solution Focused Brief Counseling)


Oleh: Bambang Dibyo Wiyono

Post: 13 Desember 2014

A.  SEJARAH PERKEMBANGAN

Salah satu pendekatan konseling dan psikoterapi yang dipengaruhi oleh pemikiran postmodern adalah pendekatan Solution Focused Brief Therapy (SFBT). Dalam beberapa literatur pendekatan SFBT juga disebut sebagai Terapi Konstruktivis (Constructivist Therapy), ada pula yang menyebutnya dengan Terapi Berfokus Solusi (Solution Focused Therapy), selain itu juga disebut Konseling Singkat Berfokus Solusi (Solution Focused Brief Counseling) dari semua sebutan untuk SFBT sejatinya semuanya merupakan pendekatan yang didasari oleh filosofi postmodern sebagai landasan konseptual pendekatan-pendekatan tersebut.

SFBT tidak memiliki penemu tunggal sebagaimana teori-teori konseling tradisional. Banyak ahli yang saling memberikan kontribusi pada teori konseling ini. Namun demikian, terdapat beberapa ahli yang dianggap memberikan kontribusi paling besar pada SFBT sehingga terbentuk menjadi teori yang komprehensif seperti saat ini, di antaranya: Steve de Shazer, Bill O’Hanlon, Michele Weiner-Davis, dan Insoo Kim Berg.

Sekitar tahun 1980 dan 1990-an, Steve de Shazer, Insoo Kim Berg, Bill O’Hanlon, dan Michele Weiner-Davis memberikan kontribusi penting pada perkembangan SFBT. Steve de Shazer dan Insoo Kim Berg mengembangkan terapi yang dikenal dengan solution-focused brief therapy. De Shazer adalah orang pertama yang menggunakan teknik miracle question. De Shazer, Berg, dan rekan-rekannya juga menggunakan pohon keputusan (decision tree) untuk menentukan intervensi apa yang akan digunakan untuk seorang konseli.

O’Hanlon dan Weiner-Davis yang dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran de Shazer dan Berg  juga memberikan kontribusi dengan menemukan teori konseling yang dikenal dengan solution-oriented brief therapy. Pendekatan treatment mereka membantu individu untuk berfokus pada tujuan-tujuan yang akan datang dan menentukan langkah-langkah yang perlu diambil untuk mencapai tujuan tersebut. O’Hanlon dan Weiner-Davis tidak berfokus pada bagaimana masalah terjadi tapi mereka hanya berfokus pada bagaimana masalah tersebut dapat dipecahkan. O’Hanlon dan Weiner-Davis juga memandang bahwa perubahan-perubahan kecil akan menyebabkan perubahan yang lebih besar.

Secara filosofis, pendekatan SFBT didasari oleh suatu pandangan bahwa sejatinya kebenaran dan realitas bukanlah suatu yang bersifat absolut namun realitas dan kebenaran itu dapat dikonstruksikan. Pada dasarnya semua pengetahuan bersifat relatif karena ia selalu ditentukan oleh konstruk, budaya, bahasa atau teori yang kita terapkan pada suatu fenomen tertentu. Dengan demikian, realitas dan kebenaran yang kita bangun (realitas yang kita konstruksikan) adalah hasil dari budaya dan bahasa kita. Apa yang dikemukakan tersebut merupakan beberapa pandangan yang dilontarkan oleh para penganut konstruktivisme sosial yang mengembangkan paradigmanya berdasarkan filosofis postmodern. Konstruktivisme sosial merupakan sebuah perspektif terapeutik dengan pandangan postmodern yang menekankan pada realitas konseli tanpa memperdebatkan apakah hal tersebut akurat atau rasional.

B.  HAKIKAT MANUSIA

Manusia adalah makhluk yang sehat, kompeten, dan memiliki kapasitas untuk membangun, merancang, serta mengkonstruksi solusi-solusi, sehingga ia tidak terus menerus berkutat dalam masalah-masalah yang sedang ia hadapi. Manusia tidak perlu terpaku pada masalah, namun lebih baik berfokus pada solusi, bertindak dan mewujudkan solusi yang diinginkan.

De Shazer (dalam Corey, 2009) berpendapat bahwa tidaklah penting untuk mengetahui penyebab dari suatu masalah untuk dapat menyelesaikannya dan bahwa tidak ada hubungan antara masalah-masalah dan solusi-solusinya. Mengumpulkan informasi tentang suatu masalah tidaklah penting untuk terjadinya suatu perubahan. Mengetahui dan memahami masalah bukanlah sesuatu yang penting, tetapi mencari solusi-solusi yang “benar” adalah penting.  Beberapa orang mungkin memikirkan bermacam-macam solusi, dan apa yang benar untuk satu orang mungkin dapat tidak benar untuk yang lainnya. Dalam SFBT, konseli memilih tujuan-tujuan yang mereka ingin capai dalam terapi, dan diberikan sedikit perhatian terhadap diagnosis, pembicaraan tentang sejarah, atau eksplorasi masalah (Berg & Miller, 1992; De Shazer & Dolan, 2007; Gingerich & Eisengart, 2000; O’Hanlon & Weiner-Davis, 2003 dalam Corey, 2009).

Terapi singkat berfokus solusi pada didasarkan pada asumsi optimis bahwa orang yang sehat dan kompeten memiliki kemampuan untuk membangun solusi yang dapat meningkatkan kehidupan mereka. Inti dari terapi yakni membangun harapan dan optimisme konseli dengan menciptakan ekspektasi positif bahwa perubahan itu mungkin. SFBT adalah pendekatan non patologis yang menekankan kompetensi daripada kekurangan dan kekuatan bukan kelemahan (Metcalf, 2001).

C.  PERKEMBANGAN PERILAKU

1.  Struktur Kepribadian

Solution Focused Brief Therapy (SFBT) tidak mengemukakan teori mengenai struktur kepribadian. Konseling ini hanya berfokus pada memfasilitasi konseli untuk mengkonstruksi solusi dari masalahnya.

2.  Pribadi Sehat dan Bermasalah

Pribadi sehat

  • Pribadi yang mampu (kompeten), memiliki kapasitas untuk membangun, merancang ataupun mengkonstruksikan solusi-solusi, sehingga individu tersebut tidak terus menerus berkutat dalam problem-problem yang sedang ia hadapi.
  • Pribadi yang tidak terpaku pada masalah, namun ia lebih berfokus pada solusi, bertindak dan mewujudkan solusi yang ia inginkan.

Pribadi bermasalah

  • Individu menjadi bermasalah karena ketidakefektifannya dalam mencari dan menggunakan solusi yang dibuatnya.
  • Individu menjadi bermasalah karena ia meyakini bahwa ketidakbahagiaan atau ketidaksejahteraan ini berpangkal pada dirinya.

D.  HAKIKAT KONSELING

Konseling merupakan proses memfasilitasi konseli untuk menemukan solusi yang dikonstruksi oleh dirinya sendiri, tanpa berfokus pada masalah yang dibawanya.

Walter dan Peller (dalam Corey, 2005) menyebutkan hakikat SFBT:

  1. Individu yang datang ke terapi mampu berperilaku efektif meskipun kelakuan keefektifan ini mungkin dihalangi sementara oleh pandangan negatif.
  2. Ada keuntungan-keuntungan untuk fokus pada solusi dan pada masa depan. Jika konseli dapat reorientasi diri ke arah kekuatan menggunakan
    solution-talk, terapi bisa singkat.
  3. Ada penyangkalan pada setiap problem. Dengan membicarakan penyangkalan-penyangkalan ini, konseli dapat mengontrol apa yang terlihat menjadi sebuah problem yang tidak mungkin diatasi, penyangkalan ini memungkinkan terciptanya sebuah solusi.
  4. Konseli sering hanya menampilkan satu sisi dari diri mereka, SFBT mengajak konseli untuk menyelidiki sisi lain dari cerita yang sedang mereka tampilkan.
  5. Perubahan kecil adalah cara untuk mendapatkan perubahan yang lebih besar.
  6. Konseli yang ingin berubah mempunyai kapasitas untuk berubah dan mengerjakan yang terbaik untuk membuat suatu perubahan itu terjadi.
  7. Konseli dapat dipercaya pada niat mereka untuk memecahkan masalah. Tiap individu adalah unik dan demikian juga untuk tiap-tiap solusi.

E.  KONDISI PENGUBAHAN

1.  Tujuan

Tujuan SFBT antara lain adalah:

  • Mengubah situasi atau kerangka acuan; mengubah perbuatan dalam situasi yang problematis, dan menekankan pada kekuatan konseli.
  • Membantu konseli untuk mengadopsi sebuah sikap dan mengukur pergeseran dari membicarakan masalah-masalah pada membicarakan solusi.
  • Mendorong konseli untuk terlibat dalam perubahan dan membicarakan solusi daripada membicarakan masalah.

SFBT mencerminkan beberapa gagasan dasar tentang perubahan, tentang interaksi, dan mencapai tujuan. Terapis berfokus solusi percaya bahwa individu memiliki kemampuan untuk menentukan tujuan pribadi yang berarti dan memiliki sumber daya yang diperlukan untuk memecahkan masalah mereka. Tujuan adalah unik untuk setiap konseli dan dibangun oleh konseli untuk menciptakan masa depan yang lebih baik (Prochaska & Atlanta dalam Corey 2009). Kurangnya kejelasan tentang preferensi konseli, tujuan, dan hasil yang diinginkan dapat mengakibatkan keretakan antara konselor dan konseli. Dari kontak terlebih dulu dengan konseli, konselor berusaha untuk menciptakan iklim yang akan memfasilitasi perubahan dan mendorong konseli untuk berpikir dalam berbagai kemungkinan.

Walter dan Peller (dalam Corey 2009) menekankan pentingnya membantu konseli dalam menciptakan tujuan yang jelas: (1) dinyatakan positif dalam bahasa konseli, (2) berorientasi proses atau aksi, (3) disusun di sini dan sekarang, (4) dapat dicapai, konkret, dan spesifik, dan (5) dikendalikan oleh klien.

2.  Konselor

Fungsi dan peran konselor dalam konseling adalah:

a.  Sebagai mitra

Konselor berusaha untuk menciptakan hubungan kolaboratif untuk membuka berbagai kemungkinan perubahan masa depan. Konselor menciptakan iklim saling menghormati, dialog, pertanyaan, dan penegasan di mana klien bebas untuk menciptakan, mengeksplorasi, dan menulis cerita-cerita mereka yang berkembang.

b.  Sebagai motivator

Bila solusi-solusi yang telah direncanakan oleh konseli belum membuahkan hasil, maka konselor bertugas untuk menyemangati konseli agar terus mencoba dengan alternatif solusi lainnya.

Terapis singkat berfokus solusi mengadopsi posisi tidak-tahu untuk menempatkan konseli dalam posisi sebagai ahli tentang kehidupan mereka sendiri. Model ini melemparkan peran dan fungsi konselor dalam sudut pandang yang berbeda dari konselor biasanya yang berorientasi melihat diri mereka sebagai ahli dalam penilaian dan pengobatan. Menurut Guterman (dalam Corey 2009), konselor memiliki keahlian dalam proses perubahan, tapi konseli adalah ahli pada apa yang mereka ingin berubah. Tugas konselor adalah menunjukkan klien dalam arah perubahan tanpa mendikte apa yang harus berubah. Menurut Walter dan Peller (dalam Corey 2009) pertanyaan yang berguna yakni:

  1. “Apa yang Anda inginkan datang ke sini?”
  2. “Bagaimana hal itu membuat perbedaan bagi Anda?”
  3. “Apa yang menjadi tanda-tanda bagi Anda bahwa perubahan yang Anda inginkan terjadi?”

3.  Konseli

Dalam konseling, konseli diharapkan dapat berkolaborasi dengan konselor, serta berpartisipasi secara aktif dalam keseluruhan proses konseling.

4.  Situasi Hubungan

Kualitas hubungan antara konselor dan konseli merupakan faktor penentu hasil dari SFBT. Sikap terapis sangat penting untuk efektivitas dari proses terapeutik. Hal ini penting untuk menciptakan kepercayaan sehingga konseli akan kembali untuk sesi selanjutnya dan akan menindaklanjuti saran pekerjaan rumah. De Shazer (dalam Corey 2009) menggambarkan tiga jenis hubungan yang dapat dikembangkan antara konselor dan konseli untuk membangun SFBT:

a.  Pelanggan (Customer)

Konseli dan konselor bersama-sama mengidentifikasi masalah dan bekerja ke arah solusi. Konseli menyadari bahwa untuk mencapai solusi dan tujuannya, usaha pribadi akan diperlukan.

b.  Pengadu (Complainant)

Konseli menjelaskan masalah tetapi tidak mampu atau bersedia untuk mengasumsikan peran dalam membangun solusi, percaya bahwa solusi bergantung pada tindakan orang lain. Dalam situasi ini, konseli umumnya mengharapkan konselor untuk mengubah orang lain kepada atribut masalah konseli.

c.  Pengunjung (Visitor)

Konseli datang ke terapi karena orang lain (pasangan, orangtua, guru, atau petugas percobaan) berpikir konseli memiliki masalah. Konseli ini mungkin tidak setuju bahwa dia memiliki masalah dan mungkin tidak dapat mengidentifikasi apa saja untuk mengeksplorasi dalam terapi.

Ketiga peran hanya titik awal untuk percakapan. Daripada mengkategorikan konseli, konselor dapat mencerminkan pada jenis hubungan yang berkembang antara konseli dan dirinya sendiri. Sebagai contoh, konseli (pengadu) yang cenderung menempatkan penyebab masalah mereka pada orang lain atau orang-orang dalam kehidupan mereka dapat dibantu dengan intervensi untuk mulai melihat peran mereka sendiri dalam masalah mereka dan kebutuhan untuk mengambil langkah-langkah aktif dalam menciptakan solusi. Seorang konseli (pengunjung) mungkin bersedia untuk bekerja dengan konselor untuk membuat hubungan (pelanggan) dengan mengeksplorasi apa yang konseli perlu dilakukan untuk memuaskan orang lain. Awalnya, beberapa konseli akan merasa tidak berdaya dan kewalahan oleh masalah mereka. Bahkan konseli yang tidak mampu mengartikulasikan masalah dapat berubah sebagai hasil dari pengembangan aliansi terapeutik yang efektif. Singkatnya, baik pengadu dan pengunjung memiliki kapasitas untuk menjadi pelanggan.

F.  MEKANISME PENGUBAHAN

1.  Tahap-Tahap Konseling

Menurut de Shazer (Seligman 2006) SFBT bisanya berlangsung dalam tujuh tahap:

a.  Identifying a solvable complaint

Mengidentifikasi keluhan yang bisa dipecahkan merupakan langkah awal yang penting dalam konseling. Tidak hanya memfasilitasi pengembangan tujuan dan intervensi, tetapi mempromosikan perubahan. Konseli dan konselor berkolaborasi untuk membuat gambar dari keluhan yang menempatkan solusi mereka di tangan konseli. Pertanyaan frase konselor sehingga mereka berkomunikasi secara optimis dan harapan untuk perubahan. Kesulitan manusia dipandang sebagai normal dan dapat diubah. Konselor mungkin bertanya, “Apa yang menyebabkan Anda untuk membuat janji sekarang?” bukan “Apa masalah yang mengganggu Anda?” atau bertanya, “Apa yang ingin Anda ubah?” bukan “Bagaimana saya bantu?”.

Konselor menggunakan empati, ringkasan, mengartikan, pertanyaan terbuka, dan keterampilan mendengarkan aktif untuk memahami situasi konseli dengan jelas dan spesifik. Konselor mungkin bertanya, “Bagaimana Anda mengalami kecemasan?” “Apa yang akan membantu saya untuk benar-benar memahami situasi ini?” dan “Bagaimana hal ini menciptakan masalah bagi Anda?”

b.  Establishing goals

Menetapkan tujuan melanjutkan proses konseling. Konselor berkolaborasi dengan konseli untuk menentukan tujuan yang spesifik, dapat diamati, diukur, dan konkret Tujuan biasanya mengambil salah satu dari tiga bentuk: mengubah dari situasi problematis; mengubah tampilan situasi atau kerangka acuan, dan mengakses sumber daya, solusi, dan kekuatan (O’Hanlon (ST Weiner-Davis, 1989 dalam Seligman 2006). Pertanyaan mengandaikan sukses: “Apa yang akan menjadi tanda pertama dari perubahan”, Bagaimana Anda akan tahu kapan terapi ini berguna bagi Anda”, Bagaimana saya bisa tahu?” Diskusi rinci perubahan positif didorong untuk memperoleh pandangan yang jelas dari apa yang terlihat seperti solusi ke konseli. Salah satu cara yang paling berguna untuk solusi yang berfokus pada klinisi untuk menetapkan tujuan terapi adalah dengan menggunakan pertanyaan keajaiban (miracle question).

c.  Designing an intervention

Ketika merancang intervensi, konselor menggambar pada pemahaman mereka tentang konseli dan penggunaan kreativitas strategi terapi untuk mendorong perubahan, tidak peduli seberapa kecil. Pertanyaan khas selama tahap ini termasuk “Perubahan apa yang telah terjadi?”, “Apa yang berhasil di masa lalu ketika Anda berurusan dengan situasi yang sama?”, “Bagaimana Anda membuat hal itu terjadi?”, dan “Apa yang akan Anda lakukan untuk memiliki itu terjadi lagi? “.

d.  Strategic task that promote change

Tugas strategis kemudian mempromosikan perubahan. Biasanya ini ditulis sehingga konseli dapat memahami dan menyetujuinya. Tugas secara hati-hati direncanakan untuk memaksimalkan kerja sama konseli dan sukses. Orang dipuji atas upaya keberhasilan dan kekuatan mereka untuk menggambar di dalam menyelesaikan tugas.

e.  Identifying dan emphazing new behavior and changes

Perilaku baru yang positif dan perubahan diidentifikasi serta ditekankan ketika konseli kembali setelah diberi tugas. Pertanyaan fokus pada perubahan, kemajuan, dan kemungkinan dan mungkin termasuk “Bagaimana Anda membuat hal itu terjadi?”, “Siapa yang melihat perubahan?”, dan “Bagaimana sesuatu yang berbeda ketika Anda melakukan itu?” Masalahnya dipandang sebagai “itu” atau “itu” dan sebagai eksternal untuk konseli; ini membantu orang melihat keprihatinan mereka sebagai setuju untuk berubah, bukan sebagai bagian integral dari diri mereka sendiri.

f.  Stabilization

Stabilisasi adalah penting dalam membantu orang mengkonsolidasikan keuntungan dan secara bertahap beralih perspektif ke arah yang lebih efektif dan penuh harapan. Selama tahap ini, konselor mungkin benar-benar menahan kemajuan dan kemunduran konseli. Ini memberikan orang waktu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan mereka, mempromosikan keberhasilan lebih lanjut, dan mencegah berkecil hati jika perubahan tidak terjadi secepat yang mereka inginkan.

g.  Termination

Pengakhiran konseling terjadi, sering diprakarsai oleh konseli yang kini telah mencapai tujuan mereka. Karena SFBT berfokus pada penyajian keluhan bukan resolusi masalah masa kecil atau perubahan kepribadian yang signifikan, ia mengakui bahwa orang dapat kembali untuk terapi tambahan, dan konseli diingatkan pilihan itu. Pada saat yang sama, SFBT tidak hanya berusaha untuk membantu orang menyelesaikan masalah segera. Melalui proses mengembangkan rasa percaya diri, merasa mendengar dan memuji bukan menyalahkan, dan menemukan kekuatan dan sumber daya, orang yang diterapi melalui SFBT dapat menjadi lebih mandiri dan mampu mengatasi kesulitan di masa depan mereka sendiri.

 

Menurut Corey (2009) secara umum prosedur atau tahapan pelaksanaan SFBT adalah:

  1. Para konseli diberikan kesempatan untuk memaparkan masalah-masalah mereka. Konselor mendengarkan dengan penuh perhatian dan cermat jawaban-jawaban konseli terhadap pertanyaan dari konselor “Bagaimana saya dapat membantu Anda?”
  2. Konselor bekerja dengan konseli dalam membangun tujuan-tujuan yang dibentuk secara spesifik dengan baik secepat mungkin. Pertanyaannya adalah “Apa yang menjadi berbeda dalam hidupmu ketika masalah-masalah Anda terselesaikan?”
  3. Konselor menanyakan konseli tentang kapan dan dimana masalah-masalah tersebut terasa tidak mengganggu atau saat masalah-masalah terasa agak ringan. Konseli dibantu untuk mengeksplor pengecualian-pengecualian ini, dengan penekanan yang khusus pada apa yang mereka lakukan untuk membuat keadaan/ peristiwa-peristiwa tersebut terjadi.
  4. Diakhir setiap sesi konseli membangun solusi-solusi (solution building), sementara konselor memberikan umpan balik (feedback), memberikan dorongan-dorongan, dan menyarankan apa yang konseli dapat amati atau lakukan sebelum sesi berikutnya untuk menyelesaikan masalah mereka.
  5. Bersama-sama dengan konseli, konselor mengevaluasi kemajuan yang telah didapat dalam mencapai solusi-solusi yang telah direncanakan. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan rating scale.

2.  Teknik-Teknik Konseling

Dalam aplikasinya, pendekatan SFBT memiliki beberapa teknik intervensi khusus. Teknik ini dirancang dan dikembangkan dalam rangka membantu konseli untuk secara sadar membuat solusi atas permasalahan yang dihadapi. Menurut Corey (2009) teknik SFBT adalah:

a.  Pertanyaan Pengecualian (Exception Question)

Terapi SFBT menanyakan pertanyaan-pertanyaan exception untuk mengarahkan konseli pada waktu ketika masalah tersebut tidak ada atau ketika masalah tidak begitu intens.  Exception merupakan pengalaman-pengalaman masa lalu dalam kehidupan konseli ketika pantas mempunyai beberapa harapan masalah tersebut terjadi, tetapi bagaimanapun juga tetap tidak terjadi (de Shazer dalam Corey 2009). Eksplorasi ini mengingatkan konseli bahwa masalah-masalah tidak semua kuat dan tidak selamanya ada, tetapi juga memberikan kesempatan untuk membangkitkan sumber daya, menggunakan kekuatan-kekuatan dan menempatkan solusi-solusi yang mungkin. Dalam kosa kata fokus solusi, ini disebut change-talk (Andrews & Clark dalam Corey 2009).

b.  Pertanyaan Keajaiban (Miracle Question)

Miracle question merupakan teknik utama SFBT. Konselor meminta konseli untuk mempertimbangkan bahwa suatu keajaiban membuka berbagai kemungkinan masa depan. Konseli didorong untuk membiarkan dirinya bermimpi sebagai cara untuk mengidentifikasi jenis perubahan yang paling mereka inginkan. Pertanyaan ini memiliki fokus masa depan di mana konseli dapat mulai untuk mempertimbangkan kehidupan yang berbeda yang tidak didominasi oleh masalah-masalah masa lalu.

Konselor dapat bertanya, “Jika keajaiban terjadi dan masalah Anda terpecahkan dalam semalam, bagaimana kau tahu itu dipecahkan, dan apa yang akan menjadi berbeda?” Konseli kemudian didorong untuk memberlakukan “apa yang akan menjadi berbeda” meskipun masalah yang dirasakan. Jika konseli menyatakan bahwa dia ingin merasa lebih rahasia dan aman, konselor mungkin mengatakan: “Biarkan diri Anda membayangkan bahwa Anda meninggalkan kantor hari ini dan bahwa Anda berada di jalur untuk bertindak lebih percaya diri dan aman. Apa yang akan Anda lakukan secara berbeda?”

c.  Pertanyaan Berskala (Scalling Question)

Terapis berfokus solusi juga menggunakan scalling question ketika perubahan dalam pengalaman manusia tidak mudah diamati, seperti perasaan, suasana hati (mood), atau komunikasi (de Shazer & Berg dalam Corey 2009). Scalling question memungkinkan konseli untuk lebih memperhatikan apa yang mereka telah lakukan dan bagaimana meraka dapat mengambil langkah yang akan mengarahkan pada perubahan-perubahan yang mereka inginkan.

d.  Rumusan Tugas Sesi Pertama (Formula Fist Session Task/FFST)

FFST adalah suatu format tugas yang diberikan oleh terapis  kepada konseli untuk diselesaikan pada antara sesi pertama dan sesi kedua. Konselor dapat berkata : “Antara sekarang dan pertemuan kita selanjutnya, saya ingin Anda dapat mengamati sehingga Anda dapat menjelaskan kepada saya pada pertemuan yang akan datang, tentang apa yang terjadi pada (keluarga, hidup, pernikahan, hubungan) Anda yang diharapkan terus terjadi” (de Shazeer, 1985 dalam Corey 2009). Pada sesi kedua, konseli dapat ditanya tentang apa yang telah mereka amati dan apa yang mereka inginkan dapat terjadi di masa mendatang.

Menurutde Shazer, intervensi ini cenderungmeningkatkanoptimismekonseli danharapantentang keadaan mereka. Konseliumumnyabekerja samadengan perubahanFFSTdanlaporan atauperbaikan sejaksesipertama mereka(McKeel, 1996; Walter&Peller, 2000 dalam Corey 2009). BertolinodanO’Hanlon(dalam Corey 2009)menunjukkan bahwaintervensiFFSTdigunakan setelahkonselimemiliki kesempatanuntuk mengekspresikan keprihatinan, pandangan, dan cerita mereka.

e.  Umpan Balik (Feedback)

Para praktisi SFBT pada umumnya mengambil istirahat 5 sampai 10 menit menjelang akhir setiap sesi untuk menyusun suatu ringkasan pesan untuk konseli. Selama waktu ini terapis memformulasikan umpan balik yang akan diberikan pada konseli setelah istirahat. De Jong dan Berg (dalam Corey 2009) menggambarkan tiga bagian dasar yaitu:

  • Pujianadalahafirmasiaslidariapa yang sudah dilakukankonseli danmengarah padasolusi yang efektif.Memujitidak dilakukandengan cararutin ataumekanis,tetapidengan cara yangmenggembirakanyang menciptakanharapandan menyampaikanharapankepada konselibahwa mereka dapatmencapai tujuan mereka dengan menggambar padakekuatan dan
  • Jembatan menghubungkan pujian awal dengan pemberian tugas.
  • Pemberian tugas kepada konseli, yang dapat dianggap sebagai pekerjaan rumah. Tugas observasional meminta konseli untuk memperhatikan beberapa aspek kehidupan mereka. Proses pemantauan diri membantu konseli memperhatikan perbedaan ketika ada yang lebih baik, terutama apa yang berbeda tentang cara mereka berpikir, merasa, atau berperilaku.

G.  HASIL PENELITIAN

1.  Tina Hayati Dahlan (2009)

Judul: Model Konseling Singkat Berfokus Solusi (Solution-Focused Brief Counseling) Untuk Meningkatkan Daya Psikologis Mahasiswa.

Hasil uji empiris terhadap model konseling ini menunjukkan bahwa secara spesifik model konseling ini efektif untuk meningkatkan hampir semua aspek-aspek daya psikologis kecuali aspek asertivitas.

2.  Heny Ermawati (2010)

Judul: Terapi Berfokus Solusi Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Pada Siswa Kelas X Sma Negeri 1 Mojolaban Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2009/2010.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut konseling terapi berfokus solusi dapat digunakan secara cukup efektif meningkatkan motivasi belajar siswa.

H.  KELEBIHAN DAN KELEMAHAN

1.  Kelebihan

  • Berfokus pada solusi.
  • Treatment terfokus pada hal yang spesifik dan jelas.
  • Penggunaan waktu yang efektif.
  • Berorientasi pada di sini dan sekarang (here and now).
  • Penggunaan teknik-teknik intervensi bersifat fleksibel dan praktis.

2.  Kelemahan

  • Konseling bertujuan tidak secara tuntas menyelesaikan masalah konseli.
  • Keterbatasan waktu yang menjadi orientasi penggunaannya.
  • Dalam penerapannya menuntut keterampilan konselor dalam penggunaan bahasa.
  • Menggunakan teknis-teknis keterampilan berfikir (mind skills).

 

 DAFTAR RUJUKAN

Burns, Kidge. 2005. Focus On Solusions A Health Professional`S Guide. London: Whurr Publishers.

Corey, G. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont, CA: Brooks/Cole.

Dahlan, Tina Hayati.  Model Konseling Singkat Berfokus Solusi (Solution-Focused Brief Counseling) Untuk Meningkatkan Daya Psikologis Mahasiswa. Jurnal. 2010. Bandung: UPI.

Jackson, Paul. & Mc.Kergow, Mark. 2007. The Solusion Focus (Second Edition). London: Nicholas Brealey International.

Seligman, L. 2006. Theories of Counseling and Psychotherapy. Columbus, Ohio: Pearson Merril Prentice Hall.

Sharf, R.S. 2004. Theories of Psychotherapy and Counseling: Concept and Cases (3rd Ed). USA: Brooks/Cole.

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada 13 Desember 2014 inci Uncategorized

 

PRINSIP PRAKTIS RISET KUALITATIF


Oleh: Bambang Dibyo Wiyono

Posted: 26 Mei 2014

A.  PRINSIP PRAKTIS BERKENAAN DENGAN PENYIAPAN

1.  Tujuan Umum Riset: Menemukan Kebenaran Ilmiah

Menurut Mappiare (2009:64) tujuan umum semua riset, baik kuantitatif maupun kualitatif adalah mencari dan menemukan kebenaran yang bersifat ilmiah (saintifik). Earl Babbie dalam Stober (2005) menyebutkan: “There are three main purpose or approaches to conducting research in social sciences: exploration, description, and explanation”. Artinya, ada tiga tujuan pokok orang melakukan riset dalam keilmuan sosial: eksplorasi, deskriptif dan eksplanasi. Patten (2007:13) menawarkan konsepsi lain yang menunjukkan perbedaan tujuan dan perhatian riset kualitatif dan kuantitatif seperti diadaptasi dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2.1. Perbedaan tujuan umum dan perhatian riset kualitatif dan kuantitatif.

Aspek Kualitatif Kuantitatif
Tujuan DeskripsiEksplanasi

Eksplorasi

Prediksi

Kelaziman

Generalisasi

Perhatian Bagaimana orang menafsirkan, membuat pengertian, dan memberi reaksi terhadap pengalaman mereka Kuantitas hubungan spesifik dalam sebuah populasi berdasarkan ukuran yang diperoleh dari sebuah sampel

Menurut Mappiare (2009:66) tataran tujuan riset kualitatif yaitu:

a.  Eksplorasi

Tataran tujuan ini bertujuan melakukan pendalaman pengetahuan mengenai suatu gejala. Termasuk di sini juga penjajakan sesuatu (dalam bidang ilmu, disiplin, profesi) yang dipandang sebagai wilayah baru. ‘Wilayah baru’, sering disebut blind spots ikhwal keilmuan itu ditandai dengan belum banyak riset mengenai isu itu. Produk dari tataran tujuan ini adalah lebih pada menemukan suatu istilah/term baru dan konsep atau konstruk baru untuk suatu bidang ilmu.

Contoh: Eksplorasi Strategi Pengubahan Sikap dalam Pantun Etnis Betawi

b.   Deskripsi

Tujuan deskripsi adalah upaya melukiskan, memaparkan atau menguraikan keadaan fenomena yang sudah dan sedang berlangsung. Riset ancangan apapun yang berada dalam tataran tujuan ini menghindari mengemukakan penjelasan kemengapaan terjadi suatu fenomena sehingga menjadi sedemikian, apalagi meramalkan bagaimana peluang eksistensi fenomena dimaksud pada masa datang.

Produk dari tataran tujuan ini adalah (mungkin) menemukan suatu kategori fenomena berupa term dan konsep atau konstruk baru atau (secara pasti) menggambarkan kembali, mengklarifikasi, keberadaan term/konsep/konstruk yang sudah ada. Selain itu riset pada tataran ini juga menghasilkan pelukisan sementara ikhwal saling-kait antarkategori yang umumnya masih bersifat hipotetik.

c.   Eksplanasi

Eksplanasi merupakan tataran tujuan ‘tertinggi’ dan terkompleks suatu riset. Secara harfiah, eksplanatif berarti bersifat menjelaskan. Dalam riset keilmuan, secara umum, ini berarti penjelasan mengapa (‘latar belakang’ atau ‘peranan’ atau ‘fungsi’ menurut bahasa kualitatif). Eksplanasi juga mencakup penjelasan akan seperti apa (‘proses lanjut’ menurut kualitatif) mengenai suatu fenomena. Riset eksplanatif menghasilkan penjelasan berupa proposisi yang sudah terkaji secara mendalam, ‘teruji’, sekurang-kurangnya dalam batas ruang lingkup penelitian yang dimaksud. Ketika peneliti sampai pada tujuan eksplanasi maka peneliti itu sudah memasuki bangunan teori.

Contoh: Koneksitas Otoritas Sekolah dan Keberdayaan Konselor: Upaya Memahami Pemahaman Praktisi Konseling.

Menurut Denzin dan Lincoln (2000:136) ada empat paradigma yang bersaing dalam penelitian kualitatif yakni: positivisme, post-positivisme, teori kritis, konstruktivisme. Masing-masing paradigma memiliki maksud dan tujuan penelitian.

Tabel 2.2. Paradigma Penelitian Kualitatif

Paradigma Tujuan
Positivisme Menjelaskan yang pada akhirnya memungkinkan untuk memprediksi dan mengendalikan fenomena (fisik atau manusia)
Post-positivisme
Teori Kritis Kritik dan transformasi struktur sosial, politik, budaya, ekonomi, etnis, dan gender yang mengekang serta menindas umat manusia, melalui dalam upaya perlawanan, bahkan konflik.
Konstruktivisme Memahami dan merekonstruksi berbagai konstruksi yang sebelumnya dipegang orang (termasuk peneliti) yang berusaha ke arah konsensus namun masih terbuka bagi interpretasi baru seiring dengan perkembangan informasi dan kecanggihan.

2.   Peran Nilai dalam Penelitian

Menurut Mappiare (2009:70) kebenaran ilmu bersifat multi-paradigmatik menjadi alasan perlunya riset kualitatif. Latar belakang munculnya isu multi-paragdigmatik adalah kerasnya keyakinan objektivistik/positivistik yang mengakui sesuatu kajian sains dengan persyaratan hypothetico-deductive. Maksudnya, suatu kajian disebuat sains/ilmiah kalau masalahnya ditarik secara deduktif dan masalah diuji secara empirik dengan perangkat pengukuran. Reaksi terhadap hal tersebut, muncullah keyakinan bahwa kebenaran yang sesungguhnya adalah kebenaran dari ‘bawah’, realitas alamiah dari subjek, penghayatan dan pemahaman subjek sendiri.

Kebenaran yang multi-paradigmatik akan membawa soal nilai (value) dalam riset kualitatif: Apakah pengembangan ilmu melalui riset kualitatif adalah berposisi lekat nilai (value-bonded), sarat-nilai (value-laden), relevansi-nilai (value-relevance); atau sebaliknya berposisi netralitas-nilai (value-neutrality), bebas-nilai (value-free, value-freedom)? Menurut Mappiare (2009:72), Denzin & Lincoln (2000), dan Lincoln & Guba (1985:37) peran nilai dalam penelitian ada dua yaitu:

a.   Paradigma Positivistik-Objektivistik (Ilmiah): Bebas Nilai (Value-Free)

Paradigma ini menyakini bahwa agar ilmu itu objektif haruslah tetap fokus pada soal betul-salah (true-false), bukan soal bagus-jelek (good-bad), bukan pula soal benar-buruk/berbahaya (right-wrong/harm). Peneliti paradigma positivistik-objektivistik harus bebas dari tekanan moral, paksaan luar terhadap pertimbangan bagus-jelek atau benar-buruk. Dengan kata lain, peneliti harus memiliki otonomi individual.

b.   Paradigma Interpretif-Subjektivistik (Alamiah): Lekat-Nilai (Value-Bonded)

Paradigma ini sangat peduli pada persoalan nilai karena objek yang diteliti yaitu manusia atau berkaitan dengan manusia, keadaan yang mengharuskan peneliti memperhitungkan baik-buruk proyek risetnya dari segi moral. Menurut Lincoln dan Guba (1985:38) ada 5 peranan nilai dalam penelitian kualitatif (naturalistic inquiry):

1)  Inkuiri dipengaruhi oleh nilai-nilai peneliti sebagaimana yang dinyatakan dalam pemilihan masalah dan dalam menyusun kerangka, mengikat, dan memfokuskan masalah itu.

2)  Inkuiri dipengaruhi oleh pemilihan paradigma yang membimbing ke arah penentuan masalah.

3)  Inkuiri dipengaruhi oleh pemilihan teori substantif yang dimanfaatkan guna membimbing pengumpulan dan analisis data serta penafsiran penemuan.

4)  Inkuiri dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berada dalam konteks.

5)  Atas dasar nomor 1-4 di atas maka inkuirinya beresonansi nilai (penguatan atau kongruen) dan berdisonansi nilai (bertentangan).

Sebagai catatan saja, McLeod (2003:167) mengatakan: “It is impossible to design ethically neutral research. All research making value decisions which may be in conflict with the beliefs and value of some other people”. Pertimbangan nilai dalam rencana dan rancangan riset yang memiliki relevansi nilai demikian ini memungkinkan adanya konflik keyakinan dan nilai dengan beberapa orang lain. Misal: mahasiswa dengan dosen pembimbing skripsi.

Kaidah penelitian kualitatif yang lekat nilai mengandung beberapa penegasan di antaranya oleh Taylor dan Bogdan (1984:71): “The literature on research ethics generally support a noninterventionist position in fieldwork”. Yang dimaksud dengan “netralitas nilai” di sini adalah penempatan nilai-nilai seperti hubungan baik, kekerabatan, bahka kesamaan ideologi (sebagai hal yang potensial berpengaruh) ke dalam posisi yang netral sehingga tidak mempengaruhi pemaknaan.

3.   Peneliti Sebagai “Instrumen” dalam Riset

Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif sangat potensial sebagaimana pernyataan Taylor dan Bogdan (1984:7): “Qualitative methods are humanistic”. Sependapat dengan ini, Hoepfl (1997:49): “The researcher acts as the ‘human instrumen’ of data collection”. Berdasarkan hal tersebut ada penegasan Mappiare (2009:76-77) bahwa:

“Bertolak pada keyakinan optimistik mengenai hakekat manusia dari filsafat idealisme, eksistensialisme atau humanisme, maka manusia khususnya peneliti itu sendiri dipandang memiliki potensi ide dan sifat-sifat baik untuk dapat menjadi instrumen mandiri dalam riset kualitatif. Potensi ide dimaksud mencakup kesadaran berarah-tujuan (teleologik), kemampuan berpikir utuh-menyeluruh (holistik), kemampuan mengelola detail-detail, kecakapan menyusun klarifikasi, proses-proses langsung dan seketika, daya apresiasi untuk mengeksplorasi jawaban lain dari pandangan yang sudah lama diterima, yaitu pemikiran khas (idiosyncrasy), dan menjangkau pemahaman lebih dalam.”

Senada dengan hal tersebut, Taylor dan Bogdan (1984:8) menyatakan: “Qualitative researchers are flexible in how they go about conducting their studies. The researchers are craftperson.” Para peneliti kualitatif itu fleksibel dalam hal bagaimana mereka melaksanakan kajian-kajian mereka. Para peneliti (kualitatif) adalah pribadi-pribadi yang terampil atau handal. Dengan kata lain, peneliti dipandang mampu melihat masalah dalam fenomena lapangan, melalui intuisi dan imajinasinya. Peneliti dipandang kreatif mengembangkan masalah secara cermat dan dapat mengumpulkan keterangan serta mendeskripsikan dan merefleksikannya secara terpercaya sehingga disebut sebagai “instrumen utama”.

4.   Hipotetis Bersifat Fleksibel menuju Kebenaran Ilmiah

Istilah ‘hipotesis’ lebih dikenal dalam riset kuantitatif dan dihindari pemakaiannya dalam riset kualitatif. Namun Mappiare (2009:79) mengatakan bahwa sepanjang pengertian ‘hipotesis’ itu adalah dugaan sementara tentang keadaan sesuatu fenomena maka di sini diyakini bahwa riset kualitatif pun mengoperasikannya. Realitas komunikasi ilmiah yang memerlukan pertanggungjawaban dan intersubjektivitas mengharuskan peneliti kualitatif bersiap-siap menjelaskan arah dan proses (dinamika) penelitian dan potensi temuannya, berupa “hipotesis implisit”.

Menurut Mappiare (2009:79-80) ada dua jenis hipotesis dalam riset kualitatif yaitu:

a.  Hipotesis umum/abstrak (abstract hypothesis)

Yaitu arah kajian atau abstraksi dan kemungkinan temuan. Hipotesis ini lazim ditulis peneliti dalam rencana atau usulan proposal penelitian kualitatif dengan label ‘abstraksi arah kajian’.

b.  Hipotesis lapangan (field hypothesis)

Yaitu dugaan-dugaan jawaban sementara dari sub-sub pertanyaan penelitian di lapangan. Hipotesis ini berdasarkan fenomena lapangan, sehingga belum diketahui sebelum pelaksanaan penelitian. Hipotesis lapangan bersifat fleksibel (bisa bertahan dan bisa gugur) sejalan dengan konfirmasi data dan analisis di lapangan.

Hipotesis yang ‘bertahan’ dapat memunculkan banyak cabang ‘hipotesis’ sejalan dengan pendalaman deskripsi data dan kekomplekan lingkup interpretasi. Hipotesis-hipotesis tersebut berubah dan berkembang dalam proses pengumpulan data dan analisis data sampai ditemukannnya suatu ‘kesimpulan menetap’ (kebenaran ilmiah).

B.   PRINSIP PRAKTIS BERKENAAN DENGAN PROSES PELAKSANAAN

1.   Analisis Deskriptif-Interpretif, Reflektif dan Pemaknaan

Menurut Mappiare (2009:80-81) sifat analisis dalam riset kualitatif adalah penguraian atau penggambaran apa adanya fenomena yang terjadi (deskriptif) disertai penafsiran terhadap arti yang terkandung di balik yang tampak (interpretif). Peneliti melakukan analisis interpretif dengan mengandalkan daya imajinasi, intuisi, dan daya kreasi peneliti dalam proses yang disebut reflektif dalam menangkap makna yang diberikan oleh subjek terteliti. Senada dengan hal ini, Hoepfl (1997:49) mengatakan: “Qualitative research has an interpretive character, aimed at discovering the meaning events have for the individuals who experience them, and the interpretations of those meanings by the researcher.” Riset kualitatif memiliki ciri interpretif, bertujuan menemukan makna peristiwa yang ada pada individu-individu yang mengalaminya, dan interpretasi-interpretasi makna itu oleh peneliti. Cara demikian dilakukan untuk menemukan arti abstrak sesuatu yang disebut pemaknaan, penarikan makna.

Untuk melakukan interpretasi, refleksi dalam pemaknaan, peneliti mengandalkan kemahiran menghayati penghayatan orang lain atau memahami pemahaman orang lain, diistilahkan verstehen (bahasa Jerman, diperkenalkan pertama kali oleh Wilhelm Dilthey, lalu Max Weber, filosof/sosiolog), atau dalam bahasa Inggris disebut emphatic-understanding atau ‘empati’ saja (Carl Rogers). Informasi persis dan agak lengkap menyebutkan verstehen sebagai:

A method of interpreting or understanding other people through an intuitive understanding of symbolic relationships derived from adopting the point of view of the people being studied. It was originally put forward by the German philosopher Wilhelm Dilthey (1833-1911) who argued that the ultimate goal of the human or mental sciences (Geisteswissenschaften) is understanding, whereas that of the natural sciences (Naturwissenschaften) is explanation (Erklarung) …[From German verstehen to understand] (Oxford University Press dalam Mappiare, 2009)

Artinya: (verstehen merupakan) suatu metode menafsirkan atau memahami orang lain dengan cara pemahaman intuitif mengenai hubungan-hubungan simbolik yang diperoleh melalui menyerap atau mengadopsi sudut-pandang orang-orang yang diteliti. Hal demikian ini pada awalnya dikemukakan oleh filosof Jerman, Wilhelm Dilthey (1833-1911), yang menegaskan bahwa tujuan akhir dari ilmu-ilmu mental atau humaniora adalah pemahaman, sementara tujuan akhir ilmu-ilmu alam adalah eksplanasi.

2.   Kedudukan Penting Konteks, Intensi, dan Proses

Menurut Day dalam Mappiare (2009:83) konteks peristiwa atau fenomena, proses peristiwa, dan intensi subjek adalah sangat penting dalam analisa data atau interpretasi kualitatif. Pendapat lengkap Day yakni:

  1. Meanings are context-dependent
  2. Meanings are always negotiable between different observers
  3. In social science we can ask subjects what they mean
  4. Process involves analysing changes over time
  5. Change can be analised through phases, key incident or the complex interplay of factors
  6. Material as well as social factors affect change (Day, dalam Mappiare 2009:84)

Artinya: (1) Makna-makna adalah bergantung konteks; (2) Makna-makna adalah selalu dapat dinegosiasikan di antara beberapa pengamat yang berlainan; (3) Dalam ilmu sosial kita dapat menanyakan para subjek apa yang mereka maksud; (4) Proses melibatkan penganalisaan perubahan sepanjang waktu; (5) Perubahan itu dapat dianalisis berdasarkan fase-fase, kejadian kunci, atau saling-hubungan kompleks faktor-faktor; (6) Material sebagaimana pula faktor-faktor sosial adalah mempengaruhi perubahan.

Menurut Mappiare (2009:85) terkait pentingnya konteks dalam riset, kegiatan kongkrit yang dilakukan peneliti ketika menghadapi fenomena yang ditampakkan subjek terteliti adalah menginterpretasikan makna. Peneliti berusaha, biasanya juga spontan, menemukan makna di balik yang tampak – entah ucapan, tindakan, atau gerak spesifik – pada subjek terteliti. Makna seketika atau langsung (immadiacy) ini adalah sangat lekat konteks.

Menurut Mappiare (2009:86-87) dua unsur penting lainnya yang ikut menentukan makna adalah proses dan intensi. Proses menunjuk pada apa peristiwa terkait sebelum dan setelah ucapan atau tindakan subjek. Intensi atau maksud suatu ucapan atau tindakan yang teramati dapat diperoleh dari isyarat menyertai ucapan atau tindakan. Sumber sangat valid dari keterangan mengenai intensi adalah penjelasan aktor terteliti mengenai ‘apa maksud dari ucapan dan tindakannya’.

C.   PRINSIP PRAKTIS BERKENAAN DENGAN PENYELESAIAN RISET

1.   Validasi Intersubjektif, Kredibilitas, Konfirmabilitas, dan Triangulasi

Menurut Mappiare (2009:87) untuk menunjukkan sifat validitas intersubjektif dalam riset kualitatif, secara umum dikenal adanya tataran validitas:

a.   Validitas faktual/deskriptif

Yaitu validitas menyangkut kebenaran yang ditulis, didekripsikan, menulis apa yang seharusnya ditulis atau mendeskripsikan apa yang seharusnya didekripsikan.

b.   Validitas interpretasi

Validitas ini bermaksud mempertahankan kebenaran, yaitu dilakukan penginterpretasian sejauh hal itu masih dalam batas mewakili secara cermat penampakan fenomena psiko-sosial darimana landasan interpretasi itu.

c.   Validitas simpulan/transendental

Yaitu kebenaran simpulan temuan, kesimpulan yang didukung interpretasi benar dari deskripsi data yang benar.

Untuk memudahkan pemahaman kita, Lincoln dan Guba (1985:328) menghubungkan kriteria riset kualitatif dengan konvensional: “…..’credibility’ (in place of internal validity), ‘transferability’ (in place of external validity), ‘dependability’ (in place of reliability), and ‘confirmability’ (in place of objectivity)”…..Maksudnya “kredibilitas” (sama dengan validitas internal), “tranferbilitas” (sama dengan validitas eksternal), “dependabilitas” (sama dengan reliabilitas), dan konfirmabilitas (sama dengan objektivitas). Menurut Lincoln dan Guba (1985:328) teknik untuk menentukan kelayakan dipercaya (valid) ada 5 yaitu:

Tabel 2.3. Ringkasan Teknik Untuk Menentukan Kelayakan Dipercaya (Valid)

Criterion Area Technique
Credibility (1) Activities in the field that increase the probability of high credibility

(a)  prolonged engagement

(b)  persistent observation

(c)  triangulation (sources, methods, and investigator)

(2)  peer debriefing

(3)  negative case analysis

(4)  referential adequacy

(5)  member checks (in process and terminal)

Transferability (6)  thick deskription
Dependability (7a) the dependability audit, including the audit trail
Confirmability (7b) the confirmability audit, including the audit trail
All of the above (8)   the reflexive journal

 

Kredibilitas/derajat kepercayaan berfungsi untuk menggali data dengan tingkat akurasi yang tinggi agar tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai. Adapun teknik untuk menetukan kredibilitas ini meliputi: (1) Aktivitas di lapangan untuk meningkatkan kemungkinan kredibilitas yang tinggi: (a) perpanjangan keikutsertaan; (b) ketekunan dalam observasi; (c) triangulasi atau konfirmasi, (2) pengecekan sejawat dan (3) analisis kasus negatif, (4) kecukupan referensi; (5) cek keanggotaan (saat proses dan final).

Terkait dengan keberterimaan data dikenal istilah konfirmabilitas/ kepastian. Konfirmabilitas adalah kriteria untuk menilai kualitas hasil penelitian dengan penulususran atau pelacakan catatan/rekaman data lapangan dan koherensinya dalam interpretasi dan simpulan hasil penelitian.Dalam kualitatif persoalan objektivitas dan subjektivitas sangat ditentukan oleh seseorang. Peneliti diakui memiliki pengalaman subjektif. Namun, bila pengalaman tersebut juga disepakati beberapa orang, maka pengalaman peneliti bisa dipandang objektif. Teknik untuk mengukur konfirmabilitas ini dilakukan dengan cara audit kepastian.

Upaya melukiskan kebenaran tradisi kualitatif, menurut J. Kirk dan M. Miller, sebagaimana pada riset kuantitatif, terdapat dua tipe kesalahan:

a.   Kesalahan tipe-1 yaitu meyakini suatu pernyataan adalah benar padahal pernyataan itu tidak benar – dalam istilah statistik, ini berarti menolak hipotesis nol, H0 yang menyatakan tidak ada hubungan antarvariabel, padahal H0 itu adalah benar.

b.   Kesalahan tipe-2 yaitu menolak suatu pernyataan yang pada kenyataannya adalah benar – sama dengan menerima H0 padahal H0 itu salah (dalam Silverman, 1994:149).

Menurut Mappiare (2009:88) untuk menghindari kesalahan demikian, dilakukan validasi internal melalui tiga teknik khusus : (1) Triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya; (2) Memaparkan kembali hasil dari suatu interpretasi/refleksi pada subjek yang diteliti. Jika subjek sepakat atau menyetujui interpretasi/refleksi yang dibuat maka peneliti boleh yakin bahwa hasilnya adalah benar-khususnya pada validasi interpretasi, ini dikenal dengan cara intersubjektivitas; (3) Membawa hasil pemaknaan yang lebih abstrak dalam diskusi dengan orang luar, kolega (outsider), untuk dibandingkan dengan kesetujuan subjek yang diteliti (insider). Jika terjadi kesepahaman dan kesepakatan pada beberapa pihak maka peneliti boleh yakin bahwa pernyataan simpulan yang bersifat ‘transeden’ itu benar, khususnya pada validasi simpulan atau transedensi. Itu dikenal dengan peer-review, atau comparative insiders-outsiders view, sebagai perluasan dari konsep intersubjektivitas.

Konsep triangulasi sebenarnya lebih luas seperti pernyataan Denzin dalam Berg (2009:7) triangulasi adalah:

“…..triangulation actually represents varieties of data, investigators, theories, and methods…….. (1) Data triangulation has three subtypes: (a) time, (b) space, (c) person. Person analysis, in turn, has three levels: (a) aggregate, (b) interactive, and (c) collectivity. (2) Investigators triangulation consists of using multiple rather than single observers of the same object. (3) Theory triangulation consists of using multiple rather than simple perspectives in relation to the same set of objects. (4) Methodological triangulation can entail within-method triangulation and between-method triangulation. ”

Pada kesimpulannya, validitas dalam riset kualitatif adalah kesepakatan intersubjektivitas yang berpatokan pada paham-harmoni, interaksi atau kesepakatan paham antara pandangan atau penghayatan dan pemahaman aktor yang diteliti dengan pandangan aktor lain.

2.   Dependabilitas, Transferabilitas, dan Refleksitivitas Hasil Penelitian

Riset kualitatif menghasilkan suatu simpulan-simpulan berupa konsep atau konstruk, proposisi maupun teori baru, atau simpulan padanan dengan yang sudah ada, hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kontribusi secara teoritik maupun praktik yang memiliki daya guna dalam berbagai disiplin ilmu. Terkait dengan daya guna atau hasil penelitian dikenal istilah dependabilitas. Dependabilitas/kebergantungan adalah kriteria untuk penelitian kualitatif apakah proses penelitian bermutu atau tidak. Cara untuk menetapkan bahwa penelitian dapat dipertanggungjawabkan proses penelitian yang benar ialah dengan audit dependabilitas guna mengkaji kegiatan yang dilakukan peneliti. Dalam penelitian kualitatif, alat ukur bukan benda, melainkan manusia atau si peneliti sendiri. Teknik yang biasa digunakan untuk mengukur dependabilitas adalah auditing, yaitu sebagai teknik pemeriksaan data yang sudah dipolakan.

Hasil dari riset kualitatif berupa proposisi atau teori yang merupakan ciri khas dari suatu komunitas dan khas lingkup tempat suatu penelitian. Dalam riset kualitatif tidak bertujuan untuk menggeneralisasikan secara luas, namun terbatas pada subjek terteliti, komunitas khusus atau suatu lingkup khusus. Para pemakai (user) dari penelitian kualitatif, akan mencoba memahami dan menghayati temuan riset itu kemudian memutuskan untuk menerima atau mungkin menolak memberlakukan atau menggunakan temuan tersebut bagi subjek atau komunitas dalam lingkup yang lain.

Dalam tradisi kualitatif dikenal adanya pemeriksaan transferabilitas atau generalisabilitas. Konsep ini berguna untuk menggeneralisasi hasil penelitian yang dalam penelitian kuantitatif dikenal sebagai validitas eksternal. Namun, dalam penelitian kualitatatif generalisasi tidak dipastikan. Transferability hanya melihat faktor ”kemiripan” sebagai kemungkinan terhadap situasi-situasi yang berbeda. Untuk menerapkan penelitian dengan tingkat transferability yang memadai, teknik yang ditempuh adalah lewat ”deskripsi yang mendalam” (thick description).

Suatu temuan atau simpulan dari riset kualitatif yang valid secara eksternal memiliki daya tranferabilitas yang baik dan berlaku secara luas untuk pemakai jika: (1) karakteristik subjek atau komunitas suatu lingkup baru yang hendak dijelaskan oleh pemakai itu adalah sesuai dengan karakteristik subjek atau komunitas pada suatu riset kualitatif terdahulu yang akan ditransfer simpulannya itu; (2) abstraksi makna riset terdahulu yang akan diperiksa transferabilitasnya itu, selama didukung data adalah cukup tinggi dan mempunyai jangkauan luas, jadi semakin asbtrak suatu simpulan maka makin lebar daya transfernya dan makin luas generalisabilitasnya.

 

DAFTAR RUJUKAN

Berg, B.L. 2009. Qualitative Research Methods for Social Science (7th Ed). Boston: Pearson Education, Inc.

Bogdan, R.C dan Biklen, S.K. 2003. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Pearson Education Group, Inc.

Denzin, N. K. & Lincoln, Y. S. (Eds). 2000. Handbook of Qualitative Research. California: Sage Publications.

Hoepfl, M.C. 1997. ‘Choosing Qualitative Research: A Primer for Technology Education Researchs’. Journal of Technology Education, Vol. 9 No.1. Tersedia pada 2007: http://scholar.lib.vt.edu/ejournal/JTE.

Mappiare-AT, A. 2009. Dasar-dasar Metodologi Riset Kualitatif Untuk Ilmu Sosial dan Profesi. Malang: Jenggala Pustaka Utama & FIP UM.

McLeod, J. 2003. Doing Counselling Research. Bonhill Street, London: Sage Publications, Ltd.

McLeod, J. 2001. Qualitative Research in Counseling and Psychotherapy. London: Sage Publication Ltd.

Moleong, L. J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Lincoln, Y.S. & Guba, E.G. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hill, California: Sage Publications, Inc.

Patten, S. 2007. ‘From “Mumbo Jumbo” to Engagement: Building Youth’s Literacy in Research Methods,’Powerpoint. Tersedia pada 2007: http://www.youthaidscoalition.org

Silverman, D. 1993. Interpreting Qualitative Data: Methods for Analysing Talk, Text, and Interaction. London: Sage Publications.

Stober, D. R. 2005. ‘Approach to Research on Executive and Organizational Coaching Outcomes – Feature’, International Journal of Coaching in Organizations, 3(1), pp. 6-13. Tersedia pada 2007: http//som.utdallas.edu/executive/coaching/cnews2//issue_008/feature.htm

Taylor, S.J. dan Bogdan, R. 1984. Introduction to Qualitative Methods, Second Edition. New York: John Wiley & Sons.

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada 26 Mei 2014 inci Uncategorized

 

TEORI PERKEMBANGAN KARIER DONALD E. SUPER


Oleh: Bambang Dibyo Wiyono

Posted: 11 April 2013

A.      TEORI PERKEMBANGAN KARIER DONALD E. SUPER

Petunjuk dasar teori ini adalah penelitian Super di bidang pengembangan karier beberapa tahun setelah diluncurkannya buku pernyataan pertama teoretisnya. Super terdorong ke dalam pernyataan pertama teoretisnya oleh upaya berteori dari Ginzberg dan rekan-rekannya. Menurut Super teori Ginzberg memiliki kelemahan serius, salah satunya adalah kegagalan untuk memperhitungkan manusia sangat signifikan terhadap informasi tentang perkembangan pendidikan dan vokasional.

Donald E. Super mencanangkan suatu pandangan tentang perkembangan karier yang lingkupnya sangat luas, karena perkembangan jabatan itu dipandang sebagai suatu proses yang mencakup banyak faktor. Faktor tersebut sebagian terdapat pada individu sendiri dan untuk sebagian terdapat dalam lingkungan hidupnya yang semuanya berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama membentuk proses perkembangan karier seseorang. Pilihan jabatan merupakan suatu perpaduan dari aneka faktor pada individu sendiri seperti kebutuhan sifat-sifat kepribadian, kemampuan intelektual, dan banyak faktor di luar individu, seperti taraf kehidupan sosial-ekonomi keluarga, variasi tuntutan lingkungan kebudayaan, dan kesempatan/kelonggaran yang muncul. Titik berat dari hal-hal tersebut di atas terletak pada faktor-faktor pada individu sendiri.

Unsur yang mendasar dalam pandangan Donald E. Super adalah konsep diri atau gambaran diri sehubungan dengan pekerjaan yang akan dilakukan dan jabatan yang akan dipegang (vocational self-concept). Konsep diri vokasional merupakan sebagian dari keseluruhan gambaran tentang diri sendiri. Data hasil penelitian memberikan indikasi yang kuat bahwa konsep diri vokasional berkembang selama pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif; perkembangan ini berlangsung melalui observasi terhadap orang-orang yang memegang jabatan tertentu , melalui identifikasi dengan orang-orang dewasa yang sudah bekerja, melalui penghayatan pengalaman hidup, dan melalui pengaruh yang diterima dari lingkungan. Penyadaran kesamaan dan perbedaan di antara diri sendiri dan semua orang lain, akhirnya terbentuk suatu gambaran diri yang vokasional. Gambaran diri ini menumbuhkan dorongan internal yang mengarahkan seseorang ke suatu bidang jabatan yang memungkinkan untuk mencapai sukses dan merasa puas (vocational satisfication). Hal ini menyebabkan seseorang mampu mewujudkan gambaran diri dalam suatu bidang jabatan yang paling memungkinkan untuk mengekspresikan diri sendiri.

Dalam sebuah ekstensi yang lebih baru dari teorinya, Super (1963a) mengelaborasi konsep kematangan vokasional. Kematangan vokasional memungkinkan pengamat untuk menilai laju dan tingkat perkembangan individu sehubungan dengan hal karier. Hal ini bisa diduga bahwa perilaku vokasional yang matang akan menganggap bentuk yang berbeda tergantung pada konteks yang diberikan oleh tahap kehidupan individu. Usia vokasional empat belas tahun yang matang akan peduli dengan penilaian minat pribadi dan kemampuan untuk mencapai tujuan menentukan rencana pendidikan, sementara usia vokasional empat puluh lima tahun yang matang akan peduli dengan cara-cara untuk mempertahankan status karier dalam menghadapi persaingan dari para pekerja muda.

Hal penting lain dalam teori Super adalah perbedaan antara psikologi pekerjaan dan psikologi karier. Psikologi pekerjaan terutama didasarkan pada psikologi diferensial dan pada asumsi bahwa kecocokan individu dan karier bertahan selamanya. Di sisi lain, psikologi karier, yang berasal dari psikologi perkembangan, bertumpu pada asumsi bahwa perkembangan karier sesuai dengan prinsip-prinsip umum perkembangan manusia, yang pada dasarnya adalah evolusi. Psikologi vokasional adalah jangka waktu memilih untuk menyatakan bidang pekerjaan yang dihasilkan dua aliran pemikiran tersebut. Karena metode dan alat konseling vokasional saat ini lebih cocok untuk mempelajari psikologi pekerjaan dibanding psikologi karier, Super menegaskan bahwa yang terakhir telah diabaikan dalam mendukung sebelumnya.

Kerangka teori Super didasarkan pada tiga bidang psikologis. Yang pertama adalah bidang psikologi diferensial. Penelitian yang berkaitan dengan psikologi diferensial telah mencapai kematangan dan telah memberikan kontribusi banyak untuk psikologi vokasional. Berdasarkan data yang ada, Super menarik asumsi bahwa setiap orang memiliki potensi tertentu untuk sukses dan kepuasan dalam berbagai pengaturan pekerjaan. Pengaruh psikologis kedua pada teori Super ini berasal dari teori konsep diri. Super mengusulkan agar vokasional mengembangkan konsep diri berdasarkan pengamatan anak-anak dan identifikasi dengan orang dewasa yang terlibat dalam pekerjaan. Pengaruh ketiga adalah prinsip-prinsip psikologi perkembangan. Konsep tahapan kehidupan yang disarankan oleh Buehler dalam Osipow (1983) menyebabkan Super mengusulkan bahwa modus penyesuaian seseorang pada satu periode kehidupan mungkin akan prediktif, digunakan untuk menyesuaikan di lain waktu.

Konsep perkembangan juga menyebabkan gagasan Super tentang pola karier. Dari karya Miller dan Formulir (1951) dan Davidson dan Anderson (1937), dalam Osipow (1983) Super memperluas konsep pola karier. Perilaku karier orang mengikuti pola-pola umum yang yang teratur dan dapat diprediksi. Pola-pola ini merupakan hasil akumulasi dari berbagai aspek psikologis, faktor fisik, situasional, dan sosial. Konsep pola karier menunjukkan bahwa siklus kehidupan membebankan tugas vokasional yang berbeda pada orang di berbagai waktu kehidupan. Perhatian terhadap pilihan karier sebagai keputusan yang terjadi pada masa remaja hanya mencerminkan segmen perilaku vokasional penting dalam kehidupan individu. Untuk memahami sepenuhnya kehidupan vokasional seseorang, seluruh siklus harus diperhatikan. Super juga mencatat peran yang berbeda dari lingkungan dan faktor keturunan dalam pematangan dan perhatian terhadap aspek-aspek lingkungan yang dapat dimanipulasi untuk memfasilitasi kematangan vokasional.

Teori Super dinyatakan dalam bentuk proposisi. Pada mulanya, tahun 1953, Super menghasilkan sepuluh (10) proposisi. Kemudian tahun 1957, bersama Bachrach dikembangkan menjadi dua belas (12) dan tahun 1990 dikembangkan lagi menjadi empat belas proposisi yaitu:

  1. Setiap orang memiliki perbedaan individual dalam kemampuan, kepribadian, kebutuhan, nilai, minat, sifat, dan konsep diri. Berbagai karakteristik pribadi sangat bervariasi dalam setiap individu di antara individu. Walaupun kebanyakan dari kita kurang lebih seperti orang lain dalam banyak sifat, keunikan setiap orang jelas dalam kombinasi kekuatan dan kelemahan individual.
  2. Berdasarkan karakteristik tersebut, setiap individu masing-masing memiliki kecakapan untuk sejumlah pekerjaan. Berbagai kemampuan, karakteristik kepribadian, dan sifat-sifat lainnya begitu luas sehingga setiap orang mempunyai kemungkinan untuk berhasil dalam dalam banyak bidang pekerjaan. Penelitian di bidang rehabilitasi telah menunjukkan meskipun individu penyandang cacat terdapat sejumlah pekerjaan yang dapat dilaksanakan dengan hasil yang memuaskan. Untuk orang tanpa gangguan fisik atau emosional yang serius, terbentang luas kemungkinan untuk berhasil dalam berbagai jenis pekerjaan.
  3. Setiap pekerjaan membutuhkan pola karakteristik kemampuan dan kepribadian yang cukup luas sehingga bagi setiap orang tersedia beragam pekerjaan dan setiap pekerjaan terbuka bagi bermacam-macam orang. Untuk setiap kemampuan atau sifat yang diperlukan dalam kinerja suatu pekerjaan tertentu, orang mungkin berharap untuk menemukan kuantitas modal yang paling sesuai dengan sifat pekerjaan.
  4. Pilihan vokasional dan kompetensi, situasi-situasi di mana orang hidup dan bekerja, serta konsep diri akan mengalami perubahan karena waktu dan pengalaman, karena itu membuat pilihan pekerjaan dan penyesuaiannya merupakan suatu proses yang kontinyu. Seseorang melatih kecakapan-kecakapan tertentu yang dimilikinya atau mengembangkan ke tingkat yang lebih tinggi memerlukan penyaluran dalam pekerjaan yang dapat memberikan kesempatan untuk mempergunakan kecakapannya yang telah berkembang.
  5. Proses perkembangan itu dapat kita simpulkan dalam serangkaian tahap-tahap perkembangan kehidupan manusia, yaitu pertumbuhan, eksplorasi, pembentukan, pemeliharaan, dan kemunduran, dan dibagi lagi menjadi: (a) fantasi , fase tentatif, dan realistis dari tahap eksplorasi dan (b) fase uji coba (trial) dan fase stabil (stable) dari tahap pembentukan.
  6. Pola karier seseorang ditentukan oleh tingkat sosial ekonomi orangtua, kemampuan mental, pendidikan, keterampilan, karakteristik kepribadian (kebutuhan, nilai, kepentingan , sifat, dan konsep diri), dan kematangan karier serta kesempatan yang terbuka bagi dirinya.

Semua faktor di belakang pengalaman individu berkontribusi terhadap sikap dan perilaku. Beberapa faktor jelas berkontribusi lebih signifikan daripada yang lain.

  1. Perkembangan orang dalam melewati tahap-tahap dapat dipandu dengan bantuan untuk pematangan kemampuan dan minat dan dengan bantuan untuk melakukan uji realitas (reality-testing) serta untuk mengembangkan konsep diri (self-concept).
    Individu dapat dibantu untuk bergerak ke arah pilihan pekerjaan yang memuaskan dalam dua cara: (a) dengan membantu seseorang untuk mengembangkan kemampuan dan minatnya; (b) dengan membantu seseorang untuk memperoleh pemahaman tentang kekuatan dan kelemahan dirinya sehingga dapat membuat pilihan yang memuaskan.
  2. Proses perkembangan karier pada dasarnya adalah pengembangan dan implementasi konsep diri. Konsep diri adalah perpaduan antara kemampuan dasar yang diwariskan, kesempatan untuk memainkan berbagai peranan dirinya, dan evaluasi atau penilaian orang lain terhadap usaha memainkan peranan tersebut. Selama masa pendidikan, sebelum seseorang benar-benar memasuki dunia kerja, seseorang sudah membayangkan jabatan atau peranan yang kelak akan dilakukan dan ini merupakan bagian daripada perkembangan konsep dirinya.
  3. Proses kompromi antara faktor individu dan sosial, antara konsep diri dan realitas, adalah permainan peranan dalam berbagai latar dan keadaan (pribadi, kelompok, pergaulan, hubungan kerja). Karena dunia kerja sedemikian kompleks sifatnya dan persyaratan masuk demikian sukarnya, maka kecil kemungkinannya untuk mencoba benar-benar berpartisipasi dalam situasi pekerjaan yang nyata/realistis. Ini menuntut perlunya pencocokan konsep diri dan tuntutan terhadap pekerjaan yang tawarkan dalam situasi yang pada dasarnya abstrak.
  4. Kepuasan kerja dan kepuasan hidup tergantung pada sejauh mana individu dapat menyalurkan kemampuan, nilai, minat, karakter kepribadian, dan konsep dirinya. Selain itu, bergantung usaha pada jenis pekerjaan, situasi kerja, dan cara hidup di mana individu bisa memainkan jenis peran pertumbuhan, dan eksplorasi pengalaman. Individu yang menemukan kenikmatan dan kepuasan melakukannya karena posisi yang dimiliki memungkinkan orang memainkan peranan yang dinilai cocok dan patut.
  5. Kesuksesan dalam menghadapi tuntutan lingkungan dalam setiap tahap kehidupan karir diberikan tergantung pada kesiapan individu untuk mengatasi tuntutan tersebut (kematangan karir).
    Super mengidentifikasi kematangan karir sebagai kelompok karakteristik fisik, psikologis, dan sosial yang merupakan kesiapan individu dan kemampuan untuk menghadapi dan menangani masalah perkembangan dan tantangan.
  6. Kematangan karier adalah konstruksi hipotetis.

Penelitian awal Super (Studi Pola Karier) membahas konsep diri yang terkait dengan karier atau masalah perkembangan vokasional. Super dan rekan kerja mencari cara untuk mendefinisikan dan menilai konsep ini. Dari upaya ini muncul Inventori Perkembangan Karier Super.

  1. Tingkat kepuasan yang diperoleh dari pekerjaan itu selaras dengan penerapan konsep diri.
    Hubungan situasi kerja dengan peran individu harus dianggap dalam arti luas. Profesi dan posisi manajerial yang lebih tinggi mungkin memberikan peluang terbesar, seperti yang dilihat oleh kebanyakan orang, untuk kepuasan intrinsik yang berasal dari pekerjaan itu sendiri. Tapi banyak individu mendapatkan kepuasan besar dari pekerjaan yang kelihatannya membosankan dan monoton. Hal ini memberikan kesempatan untuk menjadi jenis orang yang diinginkan, melakukan hal-hal yang ingin dilakukan, dan menganggap diri seperti yang dipikirkan .
  2. Bekerja dan pekerjaan merupakan titik pusat organisasi kepribadian bagi kebanyakan orang, sedangkan bagi segolongan orang lagi yang menjadi titik pusat adalah hal lain, misalnya pengisian waktu luang dan kerumahtanggaan.

Pada dasarnya, proposisi ini mengatakan bahwa kebanyakan orang dewasa adalah cerminan dari pekerjaan dan peran utama yang dilakukan.

B.       TAHAPAN PERKEMBANGAN KARIER DONALD E. SUPER

Super mengusulkan gagasan bahwa orang berusaha untuk menerapkan konsep dirinya dengan memilih untuk masuk pekerjaan dianggap yang paling mungkin untuk memungkinkan ekspresi diri. Pilihan karier adalah soal mencocokkan (matching). Di dalam irama hidup orang, terjadi perubahan-perubahan dan ini berpengaruh pada usahanya untuk mewujudkan konsep diri itu. Teori perkembangan menerima teori matching (teori konsep diri), tetapi memandang bahwa pilihan kerja itu bukan peristiwa yang sekali terjadi dalam hidup seseorang (misalnya waktu tamat pendidikan dan mau meninggalkan sekolah). Orang dan situasi lingkungannya berkembang, dan keputusan karier itu merupakan rangkaian yang tersusun atas keputusan yang kecil-kecil.

1.        Tahap Perkembangan Karier

a.   Tahap Pertumbuhan (Growth): 0 – 14 tahun

Adanya pertumbuhan fisik dan psikologis. Pada tahap ini individu mulai membentuk sikap dan mekanisme tingkah laku yang kemudian akan menjadi penting dalam konsep dirinya. Bersamaan dengan itu, pengalaman memberikan latar belakang pengetahuan tentang dunia kerja yang akhirnya digunakan dalam pilihan pekerjaan mulai yang tentatif sampai dengan final.

b.   Tahap Eksplorasi (Exploratory): 15 – 24 tahun

Dimulai sejak individu menyadari bahwa pekerjaan merupakan suatu aspek dari kehidupan manusia. Pada awal masa ini atau masa fantasi, individu menyatakan pilihan pekerjaan sering kali tidak realistis dan sering erat kaitannya dengan kehidupan permainannya.

c.   Tahap Pembentukan (Establishment): 25 – 44 tahun

Berkaitan dengan pengalaman seseorang pada saat mulai bekerja. Pada masa ini individu dengan cara mencoba-coba ingin membuktikan apakah pilihan dan keputusan pekerjaan yang dibuat pada masa eksplorasi benar atau tidak. Sebagian masa ini adalah masa try-out. Individu mungkin menerima pekerjaan dengan perasaan pasti bahwa ia akan mengganti pekerjaan jika merasa tidak cocok. Apabila ternyata individu mendapat pengalaman yang positif atau keuntungan dari suatu pekerjaan, pilihannya menjadi mantap, dan dia akan memasukkan pilihan pekerjaan itu sebagai aspek dari konsep dirinya serta kesempatan terbaik untuk mendapatkan kepuasan kerja.

d.   Tahap Pemeliharaan (Maintenance): 45 – 64 tahun

Individu berusaha untuk meneruskan atau memelihara situasi pekerjaan. Pekerjaan yang dilakukan dan konsep diri (self-concept) mempunyai hubungan yang erat. Keduanya terjalin oleh proses perubahan dan penyesuaian yang kontinyu. Pada intinya individu berkepentingan untuk melanjutkan aspek-aspek pekerjaan yang memberikan kepuasan, dan merubah atau memperbaiki aspek-aspek pekerjaan yang tidak menyenangkan, tetapi tidak sampai individu itu meninggalkan pekerjaan tersebut untuk berganti dengan pekerjaan yang lain.

e.   Tahap Kemunduran (Decline): di atas 65 tahun

Tahap menjelang berhenti bekerja (preretirement). Pada tahap ini perhatian individu dipusatkan pada usaha bagaimana hasil karyanya dapat memenuhi persyaratan out-put atau hasil yang minimal sekalipun. Individu lebih memperhatikan usaha mempertahankan prestasi kerja daripada upaya meningkatkan prestasi kerjanya.

Kelima tahap ini dipandang sebagai acuan bagi munculnya sikap-sikap dan perilaku yang menyangkut keterlibatan dalam suatu jabatan, yang tampak dalam tugas-tugas perkembangan vokasional (vocational developmental tasks).

2.        Tugas Perkembangan Vokasional

Menurut Super dalam Osipow (1983) tugas perkembangan vokasional meliputi:

a.   Kristalisasi (Crystallization): 14 – 18 tahun

Kristalisasi dari preferensi vokasional mengharuskan individu untuk merumuskan ide-ide tentang pekerjaan yang sesuai untuk dirinya sendiri. Hal ini juga mensyaratkan perkembangan pekerjaan dan konsep diri yang akan membantu memediasi pilihan vokasional yang bersifat sementara individu dengan cara pengambilan keputusan pendidikan yang relevan. Sementara tugas kristalisasi dapat terjadi pada semua usia, demikian juga semua tugas perkembangan vokasional, paling biasanya terjadi selama 14 – 18 tahun.

b.   Spesifikasi (Specification): 18 – 21 tahun

Spesifikasi dari preferensi vokasional. Di sini, individu diharuskan untuk mempersempit arah karier umum menjadi satu tertentu dan mengambil langkah yang diperlukan untuk melaksanakan keputusan tersebut.

c.   Pelaksanaan (Implementation): 21 – 25 tahun

Tugas vokasional ketiga adalah pelaksanaan preferensi vokasional. Tugas ini mengharuskan individu untuk menyelesaikan beberapa pelatihan dan mulai bekerja yang relevan. Yang dibutuhkan sikap dan perilaku untuk panggilan tugas, pengakuan individu akan kebutuhan berguna untuk merencanakan pelaksanaan preferensi dan pelaksanaan rencana ini.

e.   Stabilisasi (Stabilization): 25 – 35 tahun

Stabilisasi adalah tugas perkembangan karier yang keempat. Tugas ini diwakili oleh perilaku menetap dalam bidang pekerjaan dan penggunaan bakat seseorang sedemikian rupa untuk menunjukkan kesesuaian keputusan karier buat sebelumnya. Hal ini bisa diduga bahwa perubahan posisi individu selama periode stabilisasi ada tapi jarang perubahan pekerjaan. Sikap yang diperlukan dan perilaku sangat serupa dengan tugas-tugas pelaksanaan dan stabilisasi.

Adapun menurut Super dalam Munandir (1996) tugas perkembangan vokasional meliputi:

  1. Preferensi pekerjaan (14 – 18 tahun)
  2. Spesifikasi preferensi (18 – 21 tahun)
  3. Implementasi preferensi (21 – 25 tahun)
  4. Stabilisasi dalam suatu pekerjaan (25 – 35 tahun)
  5. Konsolidasi status dan kemajuan (masa akhir usia 30-an dan usia 40-an).

Berkaitan dengan tugas-tugas perkembangan karier, Super mengembangkan konsep kematangan vokasional (career maturity; vocational maturity) yang menunjuk pada keberhasilan individu menyelesaikan semua tugas perkembangan vokasional yang khas bagi tahap perkembangan tertentu. Indikasi relevan bagi kematangan vokasional adalah misalnya kemampuan untuk membuat rencana, kerelaan untuk memikul tanggung jawab, serta kesadaran akan segala faktor internal dan eksternal yang harus dipertimbangkan dalam membuat pilihan jabatan atau memantapkan diri dalam suatu jabatan. Beraneka indikasi ini dapat dijabarkan lebih lanjut pada rnasing-masing tahap perkembangan vokasional, lebih-lebih selama masa remaja dan masa dewasa muda. Berkenaan dalam rangka meneliti dan menilai kematangan vokasional telah dikembangkan alat tes yang dikenal dengan nama Career Development Inventory, Career Maturity Test, dan Vocational Maturity Test.

C.      STATUS DAN APLIKASI TEORI PERKEMBANGAN KARIER

1.        Status Teori

Pada saat kematiannya pada tahun 1994, Super telah menulis hampir 200 artikel, buku, bab buku, monograf, dan publikasi lainnya. Murid-muridnya dan lain-lain juga telah memberikan kontribusi puluhan, jika bukan ratusan, publikasi terhadap literatur profesional, semua distimulasi oleh teorinya. Menurut pengakuannya, teori Super tidak dibangun dengan baik karena berbagai segmen tidak mengukuhkan bersama-sama. Ini mungkin adalah alasan bahwa banyak studi penelitian dirangsang fokus pada beberapa konstruksi (misalnya, kematangan karier) yang terdapat dalam teori tetapi bertentangan dengan pengujian asumsi secara langsung.

Crites (1981) membandingkan pendekatan untuk konseling karier dari perspektif teoritis yang berbeda, menjelaskan langkah-langkah yang terlibat dalam konseling perkembangan karier. Tahap diagnostik adalah fase penilaian yang mencoba untuk menangani tiga bidang perilaku: masalah, orang, dan prognosis. Pengujian berbagai jenis dan persediaan dari berbagai jenis akan sangat diandalkan untuk menghasilkan data untuk tahap diagnostik.

Salah satu ciri teori Super adalah aplikasi kepedulian untuk konseling tentang masalah pekerjaan dan pribadi. Super beralasan bahwa meskipun konsep diri cenderung menjadi fungsi dari pengaruh genetik pada faktor fisik, seperti struktur kelenjar, dan faktor psikologis, seperti bakat, ia beroperasi dalam kombinasi dengan variabel lingkungan, seperti kondisi sosial dan ekonomi. Dengan demikian, suatu bagian tertentu dari konsep diri terbuka terhadap intervensi luar. Intervensi seperti ini mungkin yang paling efektif dalam membentuk konsep diri selama masa remaja awal, karena konsep tumbuh lebih stabil selama masa remaja dan dewasa. Konselor, dengan demikian, memiliki akses ke anak-anak selama tahun perkembangan terbesar dari konsep diri.

Teori perkembangan karier Super memiliki beberapa keuntungan yaitu: (a) mempertimbangkan bahwa individu berubah dari waktu ke waktu; (b) membantu siswa memperjelas konsep diri; (c) kerangka yang jelas tentang pemahaman berbagai tahap perkembangan karier.

2.        Aplikasi Teori Perkembanga Karier dalam Bimbingan dan Konseling

Bimbingan karier merupakan salah satu layanan bimbingan yang berusaha memberikan bantuan kepada peserta didik untuk memecahkan masalah penyesuaian diri dan pemecahan masalah karier yang dihadapi. Dalam program bimbingan dan konseling komprehensif, bimbingan karier terdapat dalam perencanaan individual yaitu layanan yang diberikan konselor untuk membantu peserta didik dalam mempersiapkan diri memasuki masyarakat yang lebih kompleks.

Teori Super (1990) memiliki sejumlah aplikasi. Sebagai contoh, telah digunakan sebagai kerangka kerja untuk program perkembangan karier untuk anak-anak dan remaja. Pertumbuhan adalah tahap perkembangan untuk sekolah menengah dan dipecah menjadi rasa ingin tahu, fantasi, minat, dan kapasitas (berfokus pada kemampuan). Tahap eksplorasi dimulai pada sekitar usia 14 dan berlanjut sampai usia 18, pada saat pilihan yang mengkristal. Tahap ini jelas perkiraan, tetapi mereka dapat berguna saat merancang program pengembangan karier.

Teori ini juga dapat digunakan sebagai dasar untuk konseling karier. Tujuan dari proses konseling karier akan menjadi perkembangan kematangan karier, yang dapat dipecah menjadi beberapa komponen yang diukur oleh Inventori Pengembangan Karier (CDI) (Super, Thompson, Jordaan, & Myers, 1984). Ini adalah:

  1. Perencanaan karier (CP). Kematangan karier individu secara aktif terlibat dalam proses, perencanaan dan menganggap diri mereka menjadi begitu terlibat. Skala perencanaan karier adalah skala yang efektif yang mengungkapkan bagaimana orang menganggap diri mereka dalam kaitannya dengan proses perencanaan.
  2. Eksplorasi karier (CE). Kematangan individu berhubungan dengan kesediaan klien untuk terlibat dalam karier eksplorasi, yaitu kesediaan mereka untuk menggunakan bahan. Skala ini dikombinasikan dengan skala CP untuk menghasilkan sikap pengembangan karier (CDA) skala.
  3. Pengambilan keputusan (DM). Kematangan karier individu mengetahui bagaimana membuat keputusan dan memiliki keyakinan pada kemampuan untuk melakukannya.
  4. Informasi dunia kerja. Komponen yang paling jelas dari skala ini melibatkan informasi yang akurat memiliki tentang pekerjaan. Super percaya bahwa para pengambil keputusan harus memiliki beberapa pengetahuan tentang waktu, perkembangan berbicara, di mana orang harus memperoleh informasi penting tentang pekerjaan.
  5. Pengetahuan tentang pekerjaan yang disukai (PB). Setelah, CDI, 20 orang memilih pekerjaan dan menjawab pertanyaan tentang pekerjaan dan kualifikasi yang diperlukan untuk memasukkan pekerjaan tertentu.
  6. Orientasi karier (COT). COT adalah skor total pada CDI, dengan pengecualian dari PO. Dalam arti ini dapat dianggap sebagai ukuran global kematangan karier.

DAFTAR RUJUKAN

Brown, D. 2007. Career Information, Career Counseling, Career Development (9th ed). Boston: Pearson Education, Inc.

Crites, J. O. 1981. Career Counseling: Models, Methods, and Materials. New York: McGraw Hill.

Gysbers, N. C. dan Henderson, P. 2006.  Developing and Managing Your School Guidance and Counseling Program (4th Ed). Alexandria, VA: ACA.

Munandir. 1996. Program Bimbingan Karier di Sekolah. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.

Osipow, S.H. 1983. Theories Of Career Development (3rd ed). New Jersey: Prentice-Hall International Inc.

Winkel, W.S. dan Hastuti, S. 2005. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Grasindo.

 
3 Komentar

Ditulis oleh pada 10 April 2013 inci Uncategorized

 

EKSPEKTASI KINERJA KONSELOR


Oleh: Bambang Dibyo Wiyono

Posted: 24 Maret 2013

A.           Pengertian Ekspektasi Kinerja

Secara etimologis, kata ekspektasi berasal dari kata “expectation” dalam bahasa Inggris yang berarti harapan. Berdasarkan wikipedi.com, ekspektasi adalah “what is considered the most likely to happen. An expectation, which is a belief that is centred on the future, may or may not be realistic. A less advantageous result gives rise to the emotion of disappointment. If something happens that is not at all expected it is a surprise. An expectation about the behavior or performance of another person, expressed to that person, may have the nature of a strong request, or an order.” Dengan kata lain, ekspektasi  adalah apa yang dianggap paling mungkin terjadi, yang merupakan kepercayaan yang berpusat pada masa depan, realistis atau mungkin tidak realistis tentang perilaku atau kinerja seseorang yang sifatnya tuntutan, atau suatu perintah.

Pada pengertian ekspektasi di atas terdapat kata “kinerja”. Oleh karena itu, kinerja menurut, John Whitmore (1997 :104) merupakan “pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seseorang, suatu perbuatan, suatu prestasi, dan Faustino Cardosa Gomes dalam A.A. Anwar Prabu Mangkunegara, (2005: 9) mengemukakan definisi kinerja sebagai ungkapan seperti output, efisiensi serta efektivitas sering dihubungkan dengan produktivitas.

B.            Ekspektasi  Kinerja Konselor Tidak Sama Dengan Guru

Dalam kaitan dengan ekspektasi kinerja konselor yang tidak sama dengan kinerja guru, yang keduanya merupakan pendidik yang diperjelas dengan pengertian pendidik berdasarkan dalam Pasal 1 Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003, yang menyatakan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

Terkait dengan penjelasan diatas maka, SK Mendikbud No. 25/O/1995 yang merujuk kepada SK Menpan No. 84/1993 menegaskan adanya empat jenis guru, yaitu:

  1. Guru kelas adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam proses belajar mengajar seluruh mata pelajaran di kelas tertentu di TK, SD, SDLB dan SLB tingkat dasar, kecuali mata pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan serta agama.
  2. Guru mata pelajaran adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam proses belajar mengajar pada satu mata pelajaran tertentu di sekolah.
  3. Guru praktik adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam proses belajar mengajar pada kegiatan praktek di sekolah kejuruan atau balai latihan pendidikan teknik.
  4. Guru pembimbing adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh dalam kegiatan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah peserta didik.

Sebutan guru pembimbing ini diganti dengan “guru bimbingan dan konseling atau konselor” yang terdapat di dalam Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 Tentang Guru, dan diperkuat dengan Permendiknas No. 27 Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.

Tabel 2.1 Perbedaan Ekspektasi Kinerja Konselor dengan Ekspektasi Kinerja Guru

SUMBER

EKSPEKTASI KINERJA KONSELOR

EKSPEKTASI KINERJA

GURU

ABKIN,

Krisis Identitas Profesi Konselor

Tidak menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layananbimbingan dan koseling yang memandirikan. Menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan Pembelajaran yang mendidik.

SK MENPAN No. 84/1993 Tentang Jabatan Fungsional Guru Dan Angka Kreditnya

Menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan, dan tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya. Menyusun program pengajaran, menyajikan program pengajaran, evaluasi belajar serta menyusun program perbaikan dan pengayaan terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawab

 

SUMBER

EKSPEKTASI KINERJA KONSELOR

EKSPEKTASI KINERJA

GURU

Pasal  1

Keputusan Bersama Mendikbud dan BAKN

Nomor 0433/P/1993

Nomor 25 Tahun 1993

Tentang

Juklak jabatan fungsional guru dan angka kreditnya

Penyusunan program bimbingan dan konseling adalah membuat rencana pelayanan bimbingan dan koseling dalam bidang pembiayaan pribadi/bimbingan sosial, bimbingan belajar dan bimbingan kerier.Pelaksanaan bimbingan dan konseling adalah melakukan fungsi pelayanan  pemahaman, pencegahan, pengentasan, pemeliharaan dan perbaikan dan pengembangan dalam bidang bimbingan pribadi/bimbingan sosial, bimbingan belajar dan bimbingan karier.Evaluasi pelaksanaan bimbingan dan konseling adalah menilai keberhasilan layanan bimbingan dan konseling dalam  bidang bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karier.

Analisis hasil evaluasi pelaksanaan bimbingan dan konseling adalah menelaah hasil evaluasi pelaksanaan bimbingan dan konseling yang mencakup layanan, orientasi, penempatan dan penyaluran, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok dan bimbingan pembelajaran, serta kegiatan pendukungnya.

Tindak lanjut pelaksanaan bimbingan dan konseling adalah kegiatan menindak lanjuti hasil analisis evaluasi tentang layanan orientasi, penempatan, dan penyaluran, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok dan bimbingan pembelajaran serta kegiatan pendukungnya.

Penyusunan program pengajaran atau praktek adalah perencanaan kegiatan belajar mengajar yang meliputi perencanaan tahunan perencanaan catur wulan, dan  perencanaan yang dituangkan dalam bentuk persiapan mengajar atau persiapan praktik.Penyajian program pengajaran atau praktek adalah pelaksanaan kegiatan belajar mengajar atau kegiatan praktek berdasarkan rencana yang tertuang dalam persiapan mengajar atau persiapan praktek.Evaluasi belajar atau praktek  adalah penilaian proses dan hasil belajar dalam rangka memperoleh informasi proses dan hasil belajar.

Analisis hasil evaluasi belajar atau praktek adalah kegiatan mengolah dan menafsirkan informasi proses dan  hasil belajar untuk mengetahui tingkat keberhasilan kegiatan belajar mengajar.

Penyusunan dan pelaksanaan program perbaikan dan pengayaan adalah upaya yang dilakukan guru untuk memperbaiki sebagian atau seluruh kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik yang belum mencapai tingkat penguasaan yang ditetapkan dan bagi peserta didik yang sudah mencapai tingkat penguasaan yang ditetapkan, diberi kesempatan untuk mendalami materi pengajaran tertentu.

 

 

SUMBER

EKSPEKTASI KINERJA KONSELOR

EKSPEKTASI KINERJA

GURU

ABKIN,

Alur Pikir Pendidikan Profesional Konselor Dan Layanan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal.

Melayani konseli normal dan sehat, menggunakan rujukan “layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan”, sesuai dengan tuntutan realisasi diri (self realization) konseli melalui fasilitasi perkembangan kapasitasnya secara maksimal(capacity development).Meliputi kondisi pribadi klien misalnya penyesuaian diri, sikap, dan kebiasaan belajar, informasi dan pilihan karier, dsb Menggunakan mata pelajaran sebagai konteks terapan layanannya, menggunakan rujukan normatif “pembelajaran yang mendidik” yang terfokus pada layanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhan peserta didik dalam proses pembudayaan sepanjang hayat dalam suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, dialogis, dan dinamis menuju pencapaian tujuan utuh pendidikan.Meliputi memberikan mata pelajaran bidang studi seperti mata pelajaran IPA, kimia, dll.

Ditjen PMPTK,

Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal 

Ukuran keberhasilan:

  • Kemandirian dalam kehidupan
  • Lebih bersifat kualitatif yang unsur-unsurnya saling terkait ipsatif (karakter individu)

Pendekatan umum adalah pengenalan diri dan lingkungan oleh Konseli dalam rangka pengatasan masalah pribadi, sosial, belajar dan karier.

Perencanaan tindak intervensi: Kebutuhan pengembangan diri ditetapkan dalam proses transaksional konseli yang difasilitasi konselor.

Ukuran keberhasilan:

  • Pencapaian Standar Kompetensi Lulusan
  • Lebih bersifat kuantitatif

Pendekatan umum yang digunakan adalah pemanfaatan Instructional Effects &Nurturant Effects melalui pembelajaran.

Perencanaan tindak intervensi: Kebutuhan belajar ditetapkan dulu untuk ditawarkan pada peserta didik.

Tabel 2.2 Keunikan dan Keterkaitan Pelayanan Guru dan Konselor

No.

Dimensi

Guru

Konselor

1 Wilayah Gerak Sistem Pendidikan Formal Sistem Pendidikan Formal
2 Tujuan Umum Pencapaian tujuan Pendidikan Nasional Pencapaian tujuan Pendidikan Nasional
3 Konteks Tugas Pembelajaran yang mendidik melalui mata pelajaran dengan skenario guru Layanan yang memandirikan dengan skenario konseli dan konselor
a. Fokus Kegiatan Pengembangan kemampuan penguasaan bidang studi dan masalah-masalahnya Pengembangan potensi diri bidang pribadi, sosial, belajar dan karier serta masalah-masalahnya
b. Hubungan Kerja Referal Referal
4 Target Intervensi
a. Individual Minim Utama
b. Kelompok Pilihan Strategis Pilihan Strategis
c. Klasikal Utama Minim

No.

Dimensi

Guru

Konselor

5 Ekspektasi Kerja
a. Ukuran Keberhasilan Pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL),Bersifat kuantitatif Kemandirian dalam kehidupan,Bersifat kualitatif
b.Pendekatan Umum Pemanfaatan Instructional Effects dan Nurturant Effect melalui pembelajaran yang mendidik Pengenalan diri dan lingkungan oleh konseli dalam rangka pengatasan masalah pribadi, sosial, belajar dan karier. Skenario tindakan merupakan hasil transaksi yang merupakan hasil konseli.
c.Perencanaan tindak intervensi Kebutuhan belajar ditetapkan dulu untuk ditawarkan pada peserta didik Kebutuhan pengembangan diri ditetapkan dalam proses transaksional konseli yang difasilitasi konselor
d.Pelaksanaan tindak intervensi Penyesuaian proses berdasarkan respon ideosinkratik peserta didik yang lebih terstruktur Penyesuaian proses berdasarkan respon ideosinkratik konseli dalam transaksi makna yang lebih lentur dan terbuka

Sumber : Dirjen PMPTK, 2007

 

B.  Ekspektasi Kinerja Konselor Dalam Jalur Pendidikan Formal Menurut ABKIN

Ekspektasi kinerja lulusan program pendidikan profesional termasuk lulusan Program Pendidikan Profesional Konselor Pra jabatan, lazim diejawantahkan dalam bingkai profesionalisasi. Dengan kata lain, profesionalisasi suatu bidang layanan ahli termasuk layanan ahli di bidang bimbingan dan konseling menandakan adanya (a) pengakuan dari masyarakat dan pemerintah bahwa kegiatannya merupakan layanan unik yang (b) didasarkan atas keahlian yang perlu dipelajari secara sistematis dan bersungguh-sungguh serta memakan waktu yang cukup panjang, sehingga (c) pengampunya diberikan penghargaan yang layak, dan (d) untuk melindungi kemaslahatan pemakai layanan, otoritas publik dan organisasi profesi, dengan dibantu oleh masyarakat khususnya pemakai layanan, wajib menjaga agar hanya pengampu layanan ahli yang kompeten yang mengedepankan kemaslahatan pemakai layanan, yang diizinkan menyelenggarakan layanan ahli kepada masyarakat (ABKIN: 2008).

Pada gilirannya ini berarti bahwa, secara konseptual terapan layanan ahli termasuk layanan ahli bimbingan dan konseling itu selalu merupakan pengejawantahan seni yang berpijak pada landasan akademik yang kokoh (Gage, 1978). Penggunaan kerangka pikir seni yang  berbasis penguasaan akademik yang kokoh atau seni yang berbasis saintifik ini penting digarisbawahi karena dalam penyelenggaraan layanan ahli di setiap bidang perbantuan atau pemfasilitasian (the helping professions). Seorang pengampu  layanan ahli, tidak terkecuali konselor, selalu berpikir dan bertindak dalam bingkai filosofik yang khas yang dibangunnya sendiri dengan mengintegrasikan apa yang diketahui dari hasil penelitian dan pendapat ahli dalam kawasaan keahliannya itu dengan apa yang dikehendaki oleh dirinya yang bisa sejalan akan tetapi juga bisa tidak sejalan dengan yang dikehendaki oleh masyarakat (pilihan nilai). Bingkai filosofik ini akan membentuk suatu wawasan atau worldview yang selalu mewarnai cara seorang konselor melihat dirinya, melihat tugasnya, melihat konseli yang hendak dilayaninya, pendeknya cara seorang konselor melihat dunianya (Corey, 2001). Akan tetapi disamping kesamaannya itu, juga terdapat ciri khas dari tiap tahapan kontekstual tiap bidang layanan ahli tersebut sehingga, meskipun sebagai kemampuan, sosoknya sama yaitu mengedepankan kemaslahatan pengguna layanan, akan tetapi berbeda dari segi rujukan normatif yang digunakan sehingga bersifat khas untuk tiap konteks layanan ahli.

Sebagai perbandingan, karena mengemban misi yang berbeda, kiprah seorang konselor yang melayani konseli normal dan sehat, menggunakan rujukan “layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan”, sesuai dengan tuntutan realisasi diri  (self realization) konseli melalui fasilitasi perkembangan kapasitasnya secara maksimal  (capacity development), sedangkan seorang guru yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks terapan layanannya, menggunakan rujukan normatif “pembelajaran yang mendidik” yang terfokus pada layanan pendidikan sesuai dengan bakat, minta, dan kebutuhan peserta didik dalam proses pembudayaan sepanjang hayat dalam suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, dialogis, dan dinamis menuju pencapaian tujuan utuh pendidikan.

Dengan kata lain, sebagaimana dikemukakan dalam bagian telaah yuridis, terdapat perbedaan yang mendasar dalam pendekatan dan teknik dalam pelak-sanaan layanan ahli yang diampu oleh konselor, dengan pendekatan dan teknik dalam pelaksanaan layanan ahli yang diampu oleh guru. Jelasnya, penyetalaan memang dilakukan secara sepihak pada tahap perancangan yang bertolak dari identifikasi kebutuhan belajar siswa oleh guru, meskipun segara harus dilakukan penyetalaan sambil jalan secara transaksional dari waktu ke waktu (on-going adjusmentsi)  sepanjang rentang episode pembelajaran dengan menggunakan “bahasa diskursis kelas yang khas” (Bellack, dkk. 1966). Penyetalaan sosok layanan selalu dilakukan dalam kedua jenis layanan ahli tersebut, karena kedua jenis layanan ahli digerakkan oleh motif altruistik dalam arti selalu menggunakan penyikapan yang empatik, menghormati keragaman, serta mengedepankan kemas-lahatan pengguna layanan dalam konteks kemaslahatan umum, sehingga harus dilakukan dengan mencermati Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal kemungkinan dampak jangka panjang dari tindak layanannya itu terhadap pengguna layanan, bahkan terhadap lingkungan di mana pengguna layanan itu hidup. Oleh karena itu, tiap pengampu layanan ahli itu juga dinamakan “the reflective practitioner” (Schone, 1983), sehingga juga layak dikarakterisasikan sebagai “… a safe practitioner” (Direktorat PPTK-KPT Ditjen Dikti, 2003).

Perbedaan rentang usia peserta didik pada tiap jenjang memicu tampilnya kebutuhan pelayanan bimbingan dan konseling yang berbeda-beda pada tiap jenjang pendidikan. Batas ragam kebutuhan antara jenjang yang satu dengan jenjang yang lainnya tidak terbedakan sangat tajam. Dengan kata lain, batas perbedaan antar jenjang tersebut lebih merupakan suatu wilayah. Berikut ini digambarkan secara umum perbedaan ciri khas ekspektasi kinerja konselor di tiap jenjang pendidikan.

1.        Jenjang Taman Kanak-kanak

Di jenjang Taman Kanak-kanak di tanah air tidak ditemukan posisi struktural bagi konselor. Pada jenjang ini fungsi bimbingan dan konseling lebih bersifat preventif  dan developmental. Secara pragmatik, komponen kurikulum pelaksanaan dalam bimbingan konseling yang perlu dikembangkan oleh konselor jenjang Taman Kanak-kanak Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal 4 membutuhkan alokasi waktu yang lebih besar dibandingkan dengan yang dibutuhkan oleh siswa pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebaliknya, pada jenjang Taman Kanak-kanak komponen perencanaan individual student planning (yang terdiri dari : pelayanan appraisal,  advicement transition planning) dan pelayanan responsive services, (yang berupa pelayanan konseling dan konsultasi) memerlukan alokasi waktu yang lebih kecil. Kegiatan konselor di jenjang Taman Kanak-kanak dalam komponen  responsive services, dilaksanakan terutama untuk memberikan layanan konsultasi kepada guru dan orang tua dalam mengatasi perilaku-perilaku mengganggu (disruptive) siswa Taman Kanak-kanak.

2.        Jenjang Sekolah Dasar

Sampai saat ini, di jenjang Sekolah Dasar-pun juga tidak ditemukan posisi struktural untuk konselor. Namun demikian sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik usia sekolah dasar, kebutuhan akan pelayanannya bukannya tidak ada meskipun tentu saja berbeda dari ekspektasi kinerja konselor di jenjang sekolah menengah dan jenjang perguruan tinggi. Dengan kata lain, konselor juga dapat berperan serta secara produktif di jenjang sekolah dasar, bukan dengan memposisikan diri sebagai fasilitator pengembangan diri peserta didik yang tidak jelas posisinya, melainkan dengan memposisikan diri sebagai Konselor Kunjung yang membantu guru sekolah dasar mengatasi perilaku menganggu (disruptive behavior), antara lain dengan pendekatan  direct behavioral consultation. Setiap gugus sekolah dasar diangkat 2 (dua) atau 3 (tiga) konselor untuk memberikan pelayanan bimbingan dan konseling.

3.        Jenjang Sekolah Menengah

Secara hukum, posisi konselor (penyelenggara profesi pelayanan bimbingan dan konseling) di tingkat sekolah menengah telah ada sejak tahun 1975, yaitu sejak diberlakukannya kurikulum bimbingan dan konseling. Dalam sistem pendidikan Indonesia, konselor  di sekolah menengah mendapat peran dan posisi/ tempat yang jelas. Peran konselor, sebagai salah satu komponen  student support services, adalah men-suport perkembangan aspek-aspek pribadi, sosial, karier, dan akademik peserta didik, melalui pengembangan menu program bimbingan dan konseling pembantuan kepada peserta didik dalam individual student planning, pemberian pelayanan responsive2, dan pengembangan system support. Pada jenjang ini, konselor menjalankan semua fungsi bimbingan dan konseling. Setiap sekolah menengah idealnya diangkat konselor dengan perbandingan 1 : 100.

4.        Jenjang Perguruan Tinggi

Meskipun secara struktural posisi konselor Perguruan Tinggi belum tercantum dalam sistem pendidikan di tanah air, namun bimbingan dan konseling dalam rangka men-“support” perkembangan personal, sosial akademik, dan karier mahasiswa dibutuhkan. Sama dengan konselor pada jenjang pendidikan Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, konselor Perguruan Tinggi juga harus mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum pelayanan dasar bimbingan dan konseling,  individual student planning, responsive services, serta  system support. Namun, alokasi waktu konselor perguruan tinggi lebih banyak pada pemberian bantuan  individual student career planning dan penyelenggaraan responsive services. Setiap perguruan tinggi menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling melalui suatu unit yang ditetapkan pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan.

C.     Ekspektasi Kinerja Konselor Tidak Sama dengan Helping Profession Yang Lain

1.        Psikolog

Psikolog adalah seorang ahli yang telah menyelesaikan program belajar dalam ilmu psikologi dengan spesialisasi (psikologi klinis, psikologi industri, psikologi pendidikan). Seorang psikolog sekurang-kurangnya telah menempuh pendidikan Sarjana dan Program Profesi pada Fakultas Psikologi. Walaupun psikolog dilatih untuk menangani semua orang dengan kondisi gangguan psikologis, mereka diwajibkan untuk menangani pasien/klien hanya pada bidang di mana merupakan spesialisasi mereka. Psikolog secara formal dapat mendiagnosis kondisi psikologis pasien dengan menggunakan tes psikologi serta menggunakan teknik terapi untuk menyembuhkan kondisi klien/pasien, namun mereka tidak dapat memberikan resep obat.

2.        Psikiater

Psikiater adalah dokter medis yang mempunyai spesialisasi dalam bidang penyembuhan kelainan-kelainan mental. Seorang psikiater sekurang-kurangnya telah menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran dan Program Profesi (dokter) serta mengambil spesialisasi Psikiatri. Psikiatri adalah bidang spesialisasi dalam ilmu kedokteran yang mengkhususkan diri dalam penelitian, diagnosa, proses pencegahan dan penyembuhan kelainan mental dan perilaku yang tidak normal beserta sejumlah masalah yang berhubungan dengan penyesuaian diri (personal adjustment). Psikiater menggunakan obat-obatan (dapat memberikan resep obat) dan menggunakan terapi untuk merawat dan menangani pasien.

3.        Dokter

Dokter adalah seorang lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatannya. Seorang dokter sekurang-kurangnya telah menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran dan Program Profesi (dokter). Bantuan yang diberikan melalui pengobatan dan terapi secara medis dengan menggunakan obat-obatan tertentu.

4.        Konselor (Guru Pembimbing)

Konselor adalah seseorang yang memiliki keahlian dalam melakukan konseling dan telah menyelesaikan pendidikan secara akademis serta memiliki pengalaman latihan-latihan keterampilan secara profesional. Seorang konselor sekurang-kurangnya Sarjana lulusan Bimbingan dan Konseling. Konselor dapat menyediakan layanan terapi, tetapi mereka tidak dapat mendiagnosa kondisi psikologis, khususnya dapat melakukan diagnosa psikologis awal konseli yang dilayani berupa mendiagnosa kesulitan belajar, kemampuan akademik, minat, bakat, dan sebagainya. Namun konselor tidak dapat menggunakan tes psikologi yang berbentuk “tes proyektif” dalam mendiagnosa kondisi psikologis klien atau konseli yang dilayani, dan juga konselor tidak dapat memberikan resep obat.

D.   Konselor Profesional

Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6). Kesejajaran posisi ini tidaklah berarti bahwa semua tenaga pendidik itu tanpa keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja. Demikian juga konselor memiliki keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang tidak persis sama dengan guru.  Hal ini  mengandung  implikasi bahwa untuk masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, perlu disusun standar kualifikasi akademik dan kompetensi berdasar kepada konteks tugas dan ekspektasi kinerja masing-masing.

Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik merupakan landasan ilmiah dari kiat pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling. Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi: (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani, (2) menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling, (3) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan (4) mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan.

1.        Kualifikasi Akademik Konselor

Konselor adalah tenaga pendidik profesional yang telah menyelesaikan pendidikan akademik strata satu (S-1) program studi Bimbingan dan Konseling dan program Pendidikan Profesi Konselor dari perguruan tinggi penyelenggara  program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. Sedangkan bagi individu yang menerima pelayanan  profesi bimbingan dan konseling disebut konseli, dan pelayanan bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan formal dan nonformal diselenggarakan oleh konselor. Kualifikasi akademik konselor dalam satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal adalah:

a.  Sarjana  pendidikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling.

b.  Berpendidikan profesi konselor.

2.        Kompetensi Konselor 

Rumusan Standar Kompetensi Konselor telah dikembangkan dan dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor. Namun bila ditata ke dalam empat kompetensi pendidik sebagaimana tertuang dalam PP 19/2005, maka rumusan kompetensi akademik dan profesional konselor dapat dipetakan dan dirumuskan ke dalam  kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional sebagai berikut:

KOMPETENSI INTI

KOMPETENSI

A. KOMPETENSI PEDAGOGIK
1.  Menguasai teori dan praksis pendidikan 1.1 Menguasai ilmu pendidikan dan landasan keilmuannya1.2 Mengimplementasikan prinsip-prinsip pendidikan dan proses pembelajaran1.3 Menguasai landasan budaya dalam praksis Pendidikan
2.   Mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan psikologis serta perilaku  konseli 2.1  Mengaplikasikan kaidah-kaidah perilaku manusia, perkembangan fisik dan sikologis individu terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan2.2  Mengaplikasikan kaidah-kaidah kepribadian, individualitas dan perbedaan konseli terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan2.3  Mengaplikasikan kaidah-kaidah belajar terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan

2.4  Mengaplikasikan kaidah-kaidah keberbakatan terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan

2.5. Mengaplikasikan kaidah-kaidah kesehatan mental terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan

3.   Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenis, dan jenjang satuan pendidikan 3.1 Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jalur pendidikan formal, nonformal dan informal3.2 Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenis pendidikan  umum, kejuruan, keagamaan, dan khusus3.3 Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenjang pendidikan usia dini, dasar dan menengah, serta tinggi.
B. KOMPETENSI KEPRIBADIAN
4.   Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa 4.1 Menampilkan kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa4.2 Konsisten dalam menjalankan kehidupan beragama dan toleran terhadap pemeluk agama lain4.3 Berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur
5.   Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas dan kebebasan memilih 5.1 Mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan berpotensi5.2 Menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya5.3 Peduli terhadap kemaslahatan  manusia  pada umumnya dan konseli pada khususnya

5.4 Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya.

5.5 Toleran terhadap permasalahan konseli

5.6 Bersikap demokratis.

KOMPETENSI INTI

KOMPETENSI

6.   Menunjukkan integritasdan stabilitas kepribadian yang kuat 6.1 Menampilkan kepribadian dan perilaku yang terpuji (seperti berwibawa, jujur, sabar, ramah, dan konsisten )6.2 Menampilkan emosi yang stabil.6.3 Peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan perubahan

6.4 Menampilkan toleransi tinggi terhadap konseli   yang menghadapi stres dan frustasi

7.   Menampilkan kinerja berkualitas tinggi 7.1 Menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif7.2 Bersemangat, berdisiplin, dan mandiri7.3 Berpenampilan menarik dan  menyenangkan

7.4 Berkomunikasi secara efektif

C. KOMPETENSI SOSIAL
8.   Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja 8.1  Memahami dasar, tujuan, organisasi, dan peran pihak-pihak lain (guru, wali kelas, pimpinan sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah) di tempat bekerja8.2  Mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak-pihak lain di tempat bekerja8.3  Bekerja sama dengan pihak-pihak terkait di  dalam tempat bekerja (seperti guru, orang tua, tenaga administrasi)
9.    Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling 9.1 Memahami dasar, tujuan, dan AD/ART organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan profesi9.2 Menaati Kode Etik profesi bimbingan dan konseling9.3 Aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan profesi
10.  Mengimplementasikan kolaborasi antarprofesi 10.1  Mengkomunikasikan aspek-aspek profesional bimbingan dan konseling kepada  organisasi profesi lain10.2  Memahami peran organisasi profesi lain dan memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan dan konseling10.3  Bekerja dalam tim bersama tenaga paraprofesional dan profesional profesi lain.

10.4  Melaksanakan referal kepada ahli profesi lain sesuai dengan keperluan

D. KOMPETENSI PROFESIONAL
11.  Menguasai konsep dan praksis asesmen untuk memahami kondisi, kebutuhan, dan masalah konseli 11.1  Menguasai hakikat asesmen11.2  Memilih teknik asesmen, sesuai dengan kebutuhan pelayanan bimbingan dan konseling11.3  Menyusun dan mengembangkan instrumen asesmen untuk keperluan bimbingan dan konseling

11.4  Mengadministrasikan asesmen untuk mengungkapkan masalah-masalah konseli.

11.5  Memilih dan mengadministrasikan teknik asesmen pengungkapan kemampuan dasar dan kecenderungan pribadi konseli.

11.6  Memilih dan mengadministrasikan instrumen untuk mengungkapkan kondisi aktual konseli berkaitan dengan lingkungan

11.7  Mengakses data dokumentasi tentang konseli dalam pelayanan bimbingan dan konseling

11.8  Menggunakan hasil asesmen dalam pelayanan bimbingan dan konseling dengan tepat

11.9  Menampilkan tanggung jawab profesional dalam praktik asesmen

12.  Menguasai kerangka teoretik dan praksis bimbingan dan konseling 12.1  Mengaplikasikan hakikat pelayanan bimbingan dan konseling.12.2  Mengaplikasikan arah profesi bimbingan dan konseling.12.3  Mengaplikasikan dasar-dasar pelayanan bimbingan dan konseling.

12.4  Mengaplikasikan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja.

12.5  Mengaplikasikan pendekatan /model/jenis  pelayanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling.

12.6  Mengaplikasikan dalam praktik  format pelayanan bimbingan dan konseling.

13.  Merancang program Bimbingan dan Konseling 13.1   Menganalisis kebutuhan konseli13.2   Menyusun program bimbingan dan konseling yang berkelanjutan berdasar kebutuhan peserta didik secara komprehensif dengan pendekatan perkembangan13.3   Menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan konseling

13.4   Merencanakan sarana dan biaya  penyelenggaraan program bimbingan dan konseling

14. Mengimplementasikan program  Bimbingan dan Konseling yang komprehensif 14.1  Melaksanakan program bimbingan dan          konseling.14.2  Melaksanakan pendekatan kolaboratif dalam pelayanan bimbingan dan konseling.14.3  Memfasilitasi perkembangan akademik, karier, personal, dan sosial konseli

14.4  Mengelola sarana dan biaya  program    bimbingan dan konseling

15. Menilai proses dan hasil kegiatan Bimbingan dan Konseling. 15.1   Melakukan evaluasi hasil, proses, dan program bimbingan dan konseling15.2   Melakukan penyesuaian proses pelayanan bimbingan dan konseling.15.3   Menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait

15.4  Menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program bimbingan dan konseling

16.  Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional 16.1 Memahami dan mengelola kekuatan dan keterbatasan pribadi dan profesional.16.2 Menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan kewenangan dan kode etik profesional  konselor16.3 Mempertahankan objektivitas dan menjaga agar tidak larut  dengan masalah konseli.

16.4 Melaksanakan referal sesuai dengan keperluan

16.5 Peduli terhadap identitas profesional dan pengembangan profesi

16.6 Mendahulukan kepentingan konseli daripada kepentingan pribadi konselor

16.7 Menjaga kerahasiaan konseli

17.  Menguasai konsep dan praksis penelitian  dalam bimbingan dan konseling 17.1 Memahami berbagai jenis dan metode penelitian17.2 Mampu merancang penelitian  bimbingan dan konseling17.3 Melaksaanakan penelitian bimbingan dan       konseling

17.4 Memanfaatkan hasil penelitian  dalam bimbingan dan konseling dengan mengakses jurnal pendidikan dan bimbingan dan konseling

Sumber : Permendiknas No. 27 Tahun 2008

DAFTAR RUJUKAN

Arjanto, Paul. 2011. Ekspektasi Kinerja Konselor Tida Sama Dengan Guru. (online) (http://paul-arjanto.blogspot.com/2011/06/konteks-tugas-konselor.html, diakses, 5 Oktober 2011).

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. 2007. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (Naskah Akademik). Bandung: ABKIN.

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (Naskah Akademik)Bandung: ABKIN.

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. 2008. Krisis Identitas Profesi Bimbingan dan Konseling. Bandung: ABKIN.

Bellack, A, HM Kliebard, RT Hyman dan F Smith, Jr. 1966. The Language of the Classroom. New York: Teachers College Press.

Corey, G. 2001.  The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.

Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal (Naskah Akademik). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Gage, NL. 1978.  The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York: Teachers College Press.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. 1993. Surat Keputusan  Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara No. 84/1993. Tentang Jabatan Fungsional Guru Dan Angka Kreditnya. Jakarta: Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Surat Keputusan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan No. 25. Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Menteri Pendidikan Nasional. 2008. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 27 Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 Tentang Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Schone, DA. 1983.  The Reflective Practitioner: How Professionals Think In Action. New York: Basic Book, Inc., Publishers.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 24 Maret 2013 inci Uncategorized

 

MASUKAN PEMIKIRAN TENTANG PERAN BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM KURIKULUM 2013


Oleh: Masyarakat Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia
Terdorong oleh rasa tanggung jawab dan kehendak untuk berpartisipasi dalam rangka implementasi Kurikulum 2013, sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia, Masyarakat Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia yang berhimpun dalam:
1. Himpunan Sarjana Bimbingan dan Konseling Indonesia (HSBKI), unsur Himpunan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)
2. Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling Nasional (MGBKN)
3. Forum Komunikasi Jurusan/Program Studi Bimbingan dan Konseling Indonesia (FK- JPBKI)
4. Ikatan Bimbingan dan Konseling Sekolah (IBKS), divisi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)
5. Ikatan Pendidik dan Supervisi Konseling (IPSIKON), divisi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN),
mengadakan serangkaian diskusi tentang peran bimbingan dan konseling terkait Kurikulum 2013 dan implementasinya. Berdasarkan hasil pemikiran bersama, Masyarakat Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia menyampaikan pokok-pokok pikiran sebagai berikut.
A. HAKIKAT PEMINATAN DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
1. Kaidah dasar yang dinyatakan secara eksplisit dalam Kurikulum 2013 yang berkaitan langsung dengan layanan bimbingan dan konseling adalah kaidah peminatan. Peminatan difahami sebagai upaya advokasi dan fasilitasi perkembangan peserta didik agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya (arahan Pasal 1 ayat 1 UU No. 20/2003) sehingga mencapai perkembangan optimum. Perkembangan optimum bukan sebatas tercapainya prestasi sesuai dengan kapasitas intelektual dan minat yang dimiliki, melainkan sebagai sebuah kondisi perkembangan yang memungkinkan peserta didik mampu mengambil pilihan dan keputusan
secara sehat dan bertanggung jawab serta memiliki daya adaptasi tinggi terhadap dinamika kehidupan yang dihadapinya. Dengan demikian, peminatan adalah sebuah proses yang akan melibatkan serangkaian pengambilan pilihan dan keputusan oleh peserta didik yang didasarkan atas pemahaman potensi diri dan peluang yang ada di lingkungannya. Dilihat dari konteks ini maka bimbingan dan konseling adalah “wilayah layanan yang bertujuan memandirikan individu yang normal dan sehat dalam menavigasi perjalanan hidupnya melalui pengambilan keputusan termasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraih serta mempertahankan karier untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum (the Common Good) melalui (upaya) pendidikan.” (ABKIN: 2007).
2. Peminatan adalah proses yang berkesinambungan untuk memfasilitasi peserta didik mencapai Tujuan Utuh Pendidikan Nasional, dan oleh karena itu peminatan harus berpijak pada kaidah-kaidah dasar yang secara eksplisit dan implisit, terkandung dalam Kurikulum. Kaidah-kaidah dimaksud ialah bahwa Kurikulum 2013:
2.1. memiliki spirit kuat untuk pemulihan fungsi dan arah pendidikan yang lebih konsisten sesuai dengan pasal 3 UU No 20 tahun 2003, yang bermakna bahwa watak dan peradaban bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 harus menjadi tujuan eksistensial pedidikan, yang melandasi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan kolektif-kultural pendidikan, yang diejawantahkan melalui pengembangan potensi peserta didik sebagai tujuan individual pendidikan.
2.2. dimaksudkan untuk menyiapkan peserta didik agar sukses dalam menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan kehidupan di era globalisasi dengan tetap berpijak pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
2.3. menitikberatkan pada pencapaian kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan sebagai keutuhan yang harus dicapai oleh peserta didik; dan juga tidak memisahkan antara mata pelajaran dengan muatan lokal, pendidikan akademik, dan pendidikan karakter sebagai keutuhan yang memberikan kemaslahatan bagi bangsa.
2.4. memiliki spirit yang kuat untuk memulihkan proses pendidikan sebagai proses pembelajaran yang mendidik dan wahana pengembangan karakter, kehidupan yang demokratis, dan kemandirian sebagai softskills, serta penguasaan sains, teknologi, dan seni sebagai hardskills. Capaian pendidikan merupakan interaksi yang fungsional antara efektivitas kurikulum berbasis kompetensi dan pembelajaran siswa aktif dengan lama pembelajaran di sekolah.
2.5. memandang bahwa peserta didik aktif dalam proses pengembangan potensi dan perwujudan dirinya dalam konteks sosial kultural, sehingga menuntut profesionalitas guru yang mampu mengembangkan strategi pembelajaran yang menstimulasi peserta didik untuk belajar lebih aktif.
2.6. menekankan penilaian berbasis proses dan hasil. Ini berarti ukuran keberhasilan pendidikan tidak hanya akumulasi fakta dan pengetahuan sebagai hasil dari ekspose didaktis, tetapi juga menekankan pada proses pembelajaran yang mendidik.
2.7 tidak menyederhanakan upaya pendidikan sebagai pencapaian target-target kuantitatif berupa angka-angka hasil ujian sejumlah mata pelajaran akademik saja, tanpa penilaian proses atau upaya yang dilakukan oleh peserta didik. Kejujuran, kerja keras dan disiplin adalah hal yang tidak boleh luput dari penilaian proses. Hasil penilaian juga harus serasi dengan perkembangan akhlak dan karakter peserta didik sebagai makhluk individu, sosial, warga negara dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2.7. mengakui dan menghormati adanya perbedaan kemampuan dan kecepatan belajar peserta didik, yang secara tegas menuntut adanya remediasi dan akselerasi secara berkala pasca penilaian, terutama bagi peserta didik yang belum mencapai batas kompetensi yang ditetapkan. Tidak semua peserta didik memiliki kemampuan dan kecepatan yang sama dalam mencapai kompetensi yang ditetapkan. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mencapai kompetensi utuh sesuai dengan kemampuan dan kecepatan belajarnya adalah prinsip pendidikan yang paling fundamental. Kurikulum 2013 lebih sensitif dan respek terhadap perbedaan kemampuan dan kecepatan belajar peserta didik.
2.8. memberikan peluang yang lebih terbuka kepada setiap peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya secara fleksibel tanpa dibatasi dengan sekat-sekat penjurusan yang terlalu kaku.
2.9. menuntut adanya kolaborasi yang baik antara guru mata pelajaran, guru BK/konselor dan orang tua/wali dalam mengoptimalkan potensi peserta didik.
2.10. menekankan pada proses, mengandung implikasi peran pendidikan yang mengarah kepada orientasi perkembangan dan pembudayaan peserta didik. Oleh karena itu, proses pendidikan melibatkan manajemen, pembelajaran, dan bimbingan dan konseling.
B. PERAN DAN FUNGSI BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
Bimbingan dan konseling adalah upaya pendidikan dan merupakan bagian integral dari pendidikan yang secara sadar memposisikan “… kemampuan peserta didik untuk mengeksplorasi, memilih, berjuang meraih, serta mempertahankan karier itu ditumbuhkan secara isi-mengisi atau komplementer oleh guru bimbingan dan konseling/ konselor dan oleh guru mata pelajaran dalam setting pendidikan khususnya dalam jalur
pendidikan formal, dan sebaliknya tidak merupakan hasil upaya yang dilakukan sendirian oleh Konselor, atau yang dilakukan sendirian oleh Guru.” (ABKIN: 2007).
Ini berarti bahwa proses peminatan, yang difasilitasi oleh layanan bimbingan dan konseling, tidak berakhir pada penetapan pilihan dan keputusan bidang atau rumpun keilmuan yang dipilih peserta didik di dalam mengembangkan potensinya, yang akan menjadi dasar bagi perjalanan hidup dan karir selanjutnya, melainkan harus diikuti dengan layanan pembelajaran yang mendidik, aksesibilitas perkembangan yang luas dan terdiferensiasi, dan penyiapan lingkungan perkembangan/belajar yang mendukung. Dalam konteks ini bimbingan dan konseling berperan dan berfungsi, secara kolaboratif, dalam hal-hal berikut.
1. Menguatkan Pembelajaran yang Mendidik
Untuk mewujudkan arahan Pasal 1 (1), 1 (2), Pasal 3, dan Pasal 4 (3) UU No. 20 tahun 2003 secara utuh, kaidah-kaidah implementasi Kurikulum 2013 sebagaimana dijelaskan harus bermuara pada perwujudan suasana dan proses pembelajaran mendidik yang memfasilitasi perkembangan potensi peserta didik. Suasana belajar dan proses pembelajaran dimaksud pada hakikatnya adalah proses mengadvokasi dan memfasilitasi perkembangan peserta didik yang dalam implementasinya memerlukan penerapan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling. Bimbingan dan konseling harus meresap ke dalam kurikulum dan pembelajaran untuk mengembangkan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan potensi peserta didik. Untuk mewujudkan lingkungan belajar dimaksud, guru hendaknya: (1) memahami kesiapan belajar peserta didik dan penerapan prinsip bimbingan dan konseling dalam pembelajaran, (2) melakukan asesmen potensi peserta didik, (3) melakukan diagnostik kesulitan perkembangan dan belajar peserta didik, (4) mendorong terjadinya internalisasi nilai sebagai proses individuasi peserta didik. Perwujudan keempat prinsip yang disebutkan dapat dikembangkan melalui kolaborasi pembelajaran dengan bimbingan dan konseling.
2. Memfasilitasi Advokasi dan Aksesibilitas
Kurikulum 2013 menghendaki adanya diversifikasi layanan, jelasnya layanan peminatan. Bimbingan dan konseling berperan melakukan advokasi, aksesibilitas, dan fasilitasi agar terjadi diferensiasi dan diversifikasi layanan pendidikan bagi pengembangan pribadi, sosial, belajar dan karir peserta didik. Untuk itu kolaborasi guru bimbingan dan konseling/konselor dengan guru mata pelajaran perlu dilaksanakan dalam bentuk: (1) memahami potensi dan pengembangan kesiapan belajar peserta didik, (2) merancang ragam program pembelajaran dan melayani kekhususan kebutuhan peserta didik, serta (3) membimbing perkembangan pribadi, sosial, belajar dan karir.
3. Menyelenggarakan Fungsi Outreach
Dalam upaya membangun karakter sebagai suatu keutuhan perkembangan, sesuai dengan arahan Pasal 4 (3) UU No. 20/2003, Kurikulum 2013 menekankan pembelajaran sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan. Untuk mendukung prinsip dimaksud bimbingan dan konseling tidak cukup menyelenggarakan fungsi-fungsi inreach tetapi juga melaksanakan fungsi outreach yang berorientasi pada penguatan daya dukung lingkungan perkembangan sebagai lingkungan belajar. Dalam konteks ini kolaborasi guru bimbingan dan konseling/konselor dengan guru mata pelajaran hendaknya terjadi dalam konteks kolaborasi yang lebih luas, antara lain: (1) kolaborasi dengan orang tua/keluarga, (2) kolaborasi dengan dunia kerja dan lembaga pendidikan, (3) “intervensi” terhadap institusi terkait lainnya dengan tujuan membantu perkembangan peserta didik.
C. EKSISTENSI BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
Keberadaan Bimbingan dan konseling dalam pendidikan di Indonesia, sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1964, yang disebut “Bimbingan dan
Penyuluhan” ketika diberlakukan “Kurikulum Gaya Baru.”Bimbingan dan Penyuluhan pada waktu itu dipandang sebagai unsur pembaharuan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Sejak diberlakukan Kurikulum Tahun 1975, pelayanan bimbingan dan penyuluhan telah dijadikan sebagai bagian integral dari keseluruhan upaya pendidikan. Petugas yang secara khusus melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling pada saat itu disebut Guru Bimbingan dan Penyuluhan (Guru BP).
Sejak diberlakukannya kurikulum 1994, sebutan untuk Guru BP berubah menjadi Guru Pembimbing, sebutan resmi ini diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1995 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, serta Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.025/0/1995 tentang Petunjuk Teknis Ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya antara lain mengandung arahan dan ketentuan pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah oleh guru kelas di SD dan guru pembimbing di SLTP dan SLTA. Walaupun kedua aturan tersebut mengandung hal-hal yang berkenaan dengan pelayanan bimbingan dan konseling, tetapi tugas itu dinyatakan sebagai tugas guru (dengan sebutan guru pembimbing) dan tidak secara eksplisit dinyatakan sebagai tugas konselor. Hal ini dapat dipahami karena sebutan konselor belum ada dalam perundangan. Penggunaan sebutan guru, sangat merancukan konteks tugas guru yang mengajar dan konteks tugas konselor sebagai penyelenggara pelayanan ahli bimbingan dan konseling. Guru pembimbing yang pada saat ini ada di lapangan pada hakikatnya melaksanakan tugas sebagai konselor, tetapi sering diperlakukan dan diberi tugas layaknya guru mata pelajaran. Bimbingan dan konseling bukanlah kegiatan pembelajaran dalam konteks adegan belajar mengajar di kelas yang layaknya dilakukan guru sebagai pembelajaran bidang studi, melainkan pelayanan ahli dalam konteks memandirikan peserta didik. (ABKIN: 2007).
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2006), posisi dan arah layanan bimbingan dan konseling di sekolah sesungguhnya mengalami kemunduran, karena adanya pemahaman tentang konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan materi pelajaran sebagai konteks layanan keahliannya, dengan ekspektasi kinerja guru yang menggunakan materi pelajaran sebagai konteks layanan keahliannya. Bimbingan dan konseling dibawa ke wilayah pembelajaran yang berpayung pada standar isi, bimbingan dan konseling menjadi bagian dari standar isi yang dituangkan menjadi pengembangan diri dan menjadi salah satu komponen kurikulum.
Sebagaimana telah dinyatakan bahwa layanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan bagian integral dari keseluruhan upaya pendidikan dalam jalur pendidikan formal dan layanan ini meskipun dilakukan oleh pendidik yang disebut sebagai konselor, tetapi ekspektasi kinerja profesionalnya berbeda dengan ekspektasi kinerja profesional yang dilakukan oleh guru. Jika ekspektasi kinerja guru menggunakan materi pelajaran sebagai konteks layanan keahliannya, maka ekspektasi kinerja konselor tidak demikian.
Ekspektasi kinerja konselor tidak meggunakan materi pelajaran dalam koteks layanan keahliannya (bimbingan dan konseling), melainkan menggunakan proses pengenalan diri peserta didik (konseli) dengan memahami kekuatan dan kelemahannya dengan peluang dan tantangan yang terdapat dalam ligkungannya, untuk menumbuhkembangkan kemandirian dalam mengambil berbagai keputusan penting dalam perjalanan hidupnya, sehingga mampu memilih, meraih serta mempertahankan karir (kemajuan hidup) untuk mencapai hidup yang efektif, produktif, dan sejahtera dalam konteks kemaslahatan umum.
Bimbingan dan konseling merupakan upaya proaktif dan sistematik dalam memfasilitasi peserta didik mencapai tingkat perkembangan yang optimal, pengembangan perilaku efektif, pengembangan lingkungan perkembangan, dan peningkatan keberfungsian individu di dalam lingkungannya. Semua perubahan perilaku tersebut merupakan proses perkembangan, yakni proses interaksi
antara individu dengan lingkungan perkembangan melalui interaksi yang sehat dan produktif. Bimbingan dan konseling memegang tugas dan tanggung jawab untuk mengembangkan lingkungan perkembangan, membangun interaksi dinamis antara individu dengan lingkungannya, membelajarkan individu untuk mengembangkan, memperbaiki, dan memperhalus perilaku.
Posisi bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal seperti tertera pada Gambar 1, mengindikasikan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari program pendidikan. Dengan demikian, posisi guru bimbingan dan konseling (dalam Pasal 1 ayat 6 UU RI No. 20/2003 disebut konselor) sejajar dengan guru bidang studi/mata pelajaran dan administrator Sekolah/Madrasah. Demikian pula dalam Permendiknas No. 22/2006 menempatkan pelayanan bimbingan dan konseling sebagai bagian integral dari standar isi satuan pendidikan dasar dan menengah.
Gambar 1. Posisi Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan
Merujuk pada UU RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebutan untuk guru pembimbing dinyatakan dalam sebutan ‟Konselor.” Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan instruktur (UU RI No. 20/2003, pasal 1 ayat 6).
Pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara tenaga pendidik satu dengan yang lainnya tidak menghilangkan arti bahwa setiap tenaga pendidik, termasuk konselor, memiliki konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan setting pelayanan spesifik yang mengandung keunikan dan perbedaan.
D. PRINSIP DASAR LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
1. Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling
Bimbingan adalah upaya/proses fundamental pada setiap ikhtiar pendidikan, baik pendidikan formal, non-formal maupun informal. Dalam ketiga bentuk pendidikan tersebut, proses bimbingan (guidance) dipastikan selalu melekat di dalamnya. Berbeda dengan pengajaran, yang tidak selalu harus ada di dalam setiap bentuk pendidikan tersebut.
Bimbingan pada hakikatnya merupakan proses memfasilitasi pengembangan nilai-nilai inti karakter melalui proses interaksi yang empatik antara konselor (guru bimbingan dan konseling) dengan peserta didik, dimana konselor membantu peserta didik untuk mengenal kelebihan dan kelemahan dalam berbgai aspek perkembangan dirinya, memahami peluang dan tantangan yang ditemukan di lingkungannya, serta mendorong penumbuhan kemandirian peserta didik (konseli) untuk mengambil berbagai keputusan penting dalam perjalanan hidupnya secara bertanggung jawab dan mampu mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, bahagia serta peduli terhadap kemaslahatan umat manusia.
Dasar pertimbangan atau pemikiran tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, tetapi yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas
perkembangannya dalam aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual.
Di manapun proses pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses perkembangan, karena setiap peserta didik adalah seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on-becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, peserta didik memerlukan bimbingan (guidance), agar memiliki pemahaman yang baik tentang dirinya dan lingkungannya serta pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya.
Alasan lain adalah adanya perbedaan individual pada peserta didik dan keniscayaan bahwa proses perkembangan peserta didik tidak selalu berlangsung secara mulus, dalam alur yang lurus, searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan peserta didik tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial yang selalu berubah dan mempengruhi gaya hidup (life style). Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri.
Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup peserta didik (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).
Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU RI No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.
Dalam abad 21 ini, setiap peserta didik dihadapkan pada situasi kehidupan yang kompleks dan penuh tantangan. Dalam konstelasi kehidupan seperti ini, setiap peserta didik memerlukan berbagai kompetensi hidup agar mampu menjadi individu yang efektif, produktif dan bermaslahat bagi orang lain.
Untuk mengembangkan kompetensi hidup seperti ini, maka sistem pelayanan pendidikan di sekolah yang efektif tidak cukup hanya dengan mengandalkan pelayanan manajemen dan pembelajaran mata pelajaran saja, melainkan perlu disertai dengan pelayanan bantuan khusus yang lebih bersifat psiko-pedagogis berbasis kepakaran. Layanan bantuan khusus (berbasis kepakaran) membantu peserta didik agar mampu menghindari perilaku negatif dan pada saat yang sama mampu mengembangkan perilaku normatif dan efektif untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti disebutkan di atas, adalah dengan mengembangkan potensi peserta didik dan memfasilitasi mereka secara sistematik, terprogram dan kolaboratif untuk mampu mencapai standar kompetensi nilai perkembangan/perilaku atau karakter yang diharapkan. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif, intensional dan kolaboratif yang
diselenggarakan dengan berbasis data perkembangan peserta didik secara komprehensif dalam berbagai aspek kehidupannya.
Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan menghasilkan peserta didik yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.
Pelayanan bimbingan dan konseling didasarkan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalah-masalah peserta didik sebagai suatu keutuhan yang diselenggarakan secara intensif dan kolaboratif. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi belajar, pribadi, sosial dan moral-spiritual, serta karir yang harus dicapai tiap peserta didik sesuai usia kronologisnya, sehingga pendekatan ini disebut juga sebagai bimbingan dan konseling berbasis nilai-nilai inti karakter. Standar dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian yang telah dirumuskan berdasarkan hasil penelitian selama 5 tahun dan telah diimplementasikan di berbagai jenjang dan jalur pendidikan.
Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara guru bimbingan dan konseling/ konselor dengan para personal Sekolah/Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua peserta didik, dan pihak-pihak terkait lainnya. Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upaya membantu para peserta didik agar dapat mengembangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara utuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.
Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi peserta didik, yang meliputi aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi peserta didik sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual).
2. Kolaborasi Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor, Guru Matapelajaran dan Orang Tua dalam Pengembangan Kemandirian sebagai Nilai Inti Karakter
Pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan membantu peserta didik dalam pengenalan diri, pengenalan lingkungan dan pengambilan keputusan, serta memberikan arahan terhadap perkembangan peserta didik; dan tidak hanya untuk peserta didik bermasalah tetapi menyangkut seluruh peserta didik. Pelayanan bimbingan dan konseling tidak terbatas pada peserta didik tertentu atau yang perlu „dipanggil‟ saja”, melainkan untuk seluruh peserta didik (Guidance and counseling for all).
Di dalam Permendiknas No. 23 tahun 2006 dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran bidang studi, maka kompetensi peserta didik yang harus dikembangkan melalui pelayanan bimbingan dan konseling adalah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK) untuk mewujudkan diri (self actualization) dan pengembangan kapasitasnya (capacity development) yang dapat mendukung pencapaian kompetensi lulusan. Sebaliknya, kesuksesan peserta didik dalam mencapai SKL akan secara signifikan menunjang terwujudnya pengembangan kemandirian. Dalam hal ini kerjasama antara guru bimbingan dan konseling/konselor dengan guru mata pelajaran merupakan suatu keharusan. Persamaan, keunikan, dan keterkaitan wilayah pelayanan guru mata pelajaran dan guru bimbingan dan konseling/ konselor dalam konteks pencapaian standar kompetensi peserta didik disajikan pada Gambar 2.
PERKEMBANGAN OPTIMUM PESERTA DIDIK:
BELAJAR, PRIBADI, SOSIAL DAN KARIR
Standar Kompetensi Kemandirian utk mewujudkan diri (belajar, karir, sosial, pribadi)
(Bimbingan dan Konseling)
Misi bersama guru dan konselor dalam memfasilitasi perkembangan peserta didik seutuhnya dan pencapaian tujuan pendidikan nasional
Standar Kompetensi Lulusan mata pelajaran
(Pembelajaran bidang studi)
Gambar 2. Hubungan Kolaboratif Wilayah Kerja
Guru bimbingan dan konseling/Konselor dan Guru Matapelajaran
Tugas-tugas pendidik untuk mengembangkan peserta didik secara utuh dan optimal sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksanakan oleh guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling/konselor, dan tenaga pendidik lainnya sebagai mitra kerja. Sementara itu, masing-masing pihak tetap memiliki wilayah pelayanan khusus dalam mendukung realisasi diri dan pencapaian kompetensi peserta didik. Dalam hubungan fungsional kemitraan (kolaboratif) antara guru bimbingan dan konseling/konselor dengan guru mata pelajaran, antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan rujukan (referal). Masalah-masalah perkembangan peserta didik yang dihadapi guru mata pelajaran pada saat pembelajaran dirujuk kepada guru bimbingan dan konseling/konselor untuk penanganannya. Demikian pula masalah yang ditangani guru bimbingan dan konseling/konselor dirujuk kepada guru mata pelajaran untuk menindaklanjutinya apabila itu terkait dengan proses pembelajaran mata pelajaran. Masalah kesulitan belajar peserta didik sesungguhnya akan lebih banyak bersumber dari proses pembelajaran itu sendiri. Ini berarti bahwa di
WILAYAH GURU
KOLABORASI KONSELOR DENGAN GURU/PIHAK LAIN
WILAYAH KONSELOR
dalam pengembangan dan proses pembelajaran bermutu, fungsi-fungsi bimbingan dan konseling perlu mendapat perhatian guru mata pelajaran, dan sebaliknya, fungsi-fungsi pembelajaran mata pelajaran perlu mendapat perhatian guru bimbingan dan konseling/konselor.
Layanan bimbingan dan konseling diperuntukan bagi semua (guidance and counseling for all), dan oleh karena itu tidaklah tepat jika orientasinya hanya kepada pemecahan masalah, melainkan mencakup orientasi pengembangan (developmental) dan pemeliharaan (maintanance) serta pencegahan (preventive) secara menyeluruh. Layanan bimbingan dan konseling adalah upaya memfasilitasi perkembangan individu (dalam aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir) ke arah kemandirian (dalam hal menetapkan pilihan, mengambil keputusan, dan tanggung jawab atas pilihan dan keputusan sendiri) untuk mewujudkan diri (self-realization) dan mengembangkan kapasitas (capacity development).
Prinsip bimbingan dan konseling untuk semua mengandung arti bahwa target populasi layanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal termasuk para peserta didik yang berbakat dan berkebutuhan khusus, terutama yang memiliki kecakapan intelektual normal. Layanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus akan amat erat kaitannya dengan kegiatan hidup sehari-hari (daily living activities) yang tidak terisolasi dari konteks. Oleh karena itu, layanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus merupakan layanan intervensi tidak langsung yang akan lebih terfokus pada upaya mengembangkan lingkungan perkembangan (inreach maupun outreach) bagi kepentingan dalam memfasilitasi perkembangan peserta didik, yang akan melibatkan banyak pihak di dalamnya terutama guru pendidikan khusus dan orang tua.
Demikian pula bimbingan dan konseling bagi anak berbakat, tidak diperlakukan dan dipandang sebagai upaya yang luar biasa, melainkan dilihat sebagai bagian dari upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional, baik di tingkat satuan
pendidikan maupun individual. Oleh karena itu, pencapaian prestasi luar biasa misalnya prestasi dalam olimpiade fisika, olimpiade matematika dan dalam berbagai mata pelajaran lain, sejajar dengan keberbakatan bidang olah raga, misalnya bulutangkis, tinju, catur, yang memang memerlukan takaran latihan lebih dari yang diperlukan oleh peserta didik pada umumnya. Di bidang pendidikan pada umumnya, sebagai hasil pendidikan nasional, diharapkan akan menghasilkan lulusan yang memiliki karakter kuat dan dituntun keimanan, yang menghargai keragaman dalam ragam kehidupan berbangsa (bhineka), akrab dan fasih iptek serta menguasai softskills, serta bugar scara fisik di samping memiliki kebiasaan hidup sehat.
E. KERANGKA PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM KURIKULUM2013
Merujuk Gambar 1 tentang posisi bimbingan dan konseling dalam pendidikan, konteks tugas konselor dalam pendidikan adalah dalam proses pengenalan diri oleh pesera didik (konseli) beserta peluang dan tantangan yang ditemukannya dalam lingkungan, sehingga peserta didik mandiri mengambil keputusan penting perjalanan hidupnya (belajar, pribadi, sosial dan karir) dalam rangka mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan bahagia serta peduli kepada kemaslahatan umum, melalui berbagai upaya yang dinamakan pedidikan.
Fokus layanan bimbingan dan konseling adalah menumbuh-kembangkan kompetensi kemandirian sebagai nilai inti karakter. Dalam konteks ini, perlu dikembangkan: (a) sikap dan berperilaku baik, jujur dan etis; (b) belajar bertanggungjawab; (c) disiplin, kerja keras dan efisien; (d) kesadaran kultural sebagai warganegara, seperti peduli, toleran, saling menghargai; dan (e) peningkatan pengetahuan dan keterampilan hidup sesuai dengan tingkat perkembangan.
Program bimbingan dan konseling di sekolah bukan merupakan aktivitas ekstrakurikuler, melainkan merupakan suatu program yang secara sistematis
diarahkan untuk mengoptimalkan pencapaian kompetensi perkembangan setiap peserta didik dalam aspek pribadi, sosial, belajar dan karirnya secara utuh dimana nilai inti karakter melekat di dalam semua bidang layanan tersebut.
Konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan target populasi layanan bimbingan dan konseling, sebagai layanan ahli, seorang guru bimbingan dan konseling/konselor memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling yang berorientasi pengembangan dan pemeliharaan karakter, dan melayani seluruh peserta didik, dengan kerangka program kerja utuh yang meliputi komponen-komponen sebagai berikut.
Layanan Dasar, yaitu layanan yang bersifat antisipatoris, preventif dan pengembangan. Layanan ini diperuntukan bagi semua peserta didik tanpa terkecuali. Layanan dasar diarahkan untuk pengembangan kompetensi perkembangan sesuai dengan tahap dan tugas-tugas perkembangan peserta didik. Layanan ini dapat dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling/konselor sendiri maupun dengan kolaborasi antara guru bimbingan dan konseling/konselor, guru mata pelajaran, orang tua, dan pakar yang berada di luar sekolah. Bentuk layanan yang diupayakan antara lain:
(1) Penyelenggaraan asesmen dalam berbagai aspek perkembangan seperti data demografis, hasil belajar, bakat, minat, kecerdasan, kepribadian, kebiasaan belajar dan jaringan hubungan sosial;
(2) Advokasi dan fasilitasi pemilihan rumpun/bidang keilmuan yang diminati melalui proses konseling, konsultasi dan layanan lain yang relevan.
(3) Bimbingan klasikal atau bimbingan kelompok yang diselenggarakan secara regular dan terjadual dengan menggunakan metode dan teknik khas bimbingan dan konseling yang menarik, interaktif, menyenangkan, dan reflektif. Jika diperlukan, bimbingan klasikal dimaksud bisa dilakukan secara kolaboratif bersama guru bidang studi pada saat pembelajaran berlangsung.
(4) Pengembangan perilaku jangka panjang yang menunjang kesuksesan belajar, pengembangan pribadi dan sosial, dan karir peserta didik. Layanan ini dilakukan dengan “membelajarkan” peserta didik atas topik-topik yang relevan dengan kebutuhan peserta didik seperti sikap dan keterampilan belajar, pemecahan masalah, hubungan sosial, keterampilan komunikasi yang efektif, negosiasi dan manajemen konflik, pengembngan sikap toleran, kepercayaan diri, konsep diri, pengendalian emosi, kerja sama, perilaku etis, kreativitas, disiplin, Say No to Drugs, dan sebagainya.
(5) Pengembangan instrumen bimbingan dan konseling dan penggunaannya untuk asesmen perkembangan baik dalam kegiatan khusus maupun kegiatan tatap muka terjadwal di kelas sangat diperlukan untuk implementasi komponen ini. Mengacu kepada prinsip kolaborasi guru mata pelajaran bisa mendukung pencapaian kompetensi belajar peserta didik melalui pengembangan nuturant effect pembelajaran.
Layanan Responsif, yaitu layanan yang dimaksudkan untuk membantu peserta didik memecahkan masalah (pribadi, sosial, belajar, karir) yang dihadapinya pada saat ini dan memerlukan pemecahan segera. Penggunaan instrumen pemahaman peserta didik diperlukan untuk mendeteksi masalah apa yang perlu dientaskan. Di sinilah layanan konseling individual maupun kelompok diperlukan dengan segala perangkat pendukungnya.
Layanan Perencanaan Individual, yaitu layanan yang dimaksudkan untuk memfasilitasi peserta didik secara individual di dalam merencanakan masa depannya berkenaan dengan kehidupan akademik maupun karir. Pemahaman peserta didik secara mendalam dengan segala karakteristiknya dan penyediaan informasi yang akurat sesuai dengan peluang dan potensi yang dimiliki peserta didik amat diperlukan, sehingga peserta didik mampu memilih dan mengambil keputusan yang tepat dalam mengembangkan potensinya secara optimal, termasuk peminatan, keberbakatan, dan kebutuhan khusus peserta didik.
Kegiatan orientasi, informasi, konseling individual, rujukan, kolaborasi, dan advokasi diperlukan dalam implementasi layanan ini.
Dukungan Sistem dan Kolaboratif, yaitu kegiatan yang terkait dengan dukungan manajemen, tata kerja, infrastruktur (misalnya Teknologi Informasi dan Komunikasi), kolaborasi atau konsultasi dengan berbagai pihak yang dapat membantu peserta didik, pelatihan pembelajaran bernuansa bimbingan dan konseling bagi guru mata pelajaran, termasuk pengembangan kemampuan guru BK/konselor secara berkelanjutan sebagai profesional.
Pengaturan proporsi layanan setiap komponen program bimbingan dan konseling di sekolah dalam Kurikulum 2013 dapat diatur dalam pedoman berikut.
BENTUK LAYANAN SD SMP SMA/SMK
Layanan Dasar
35 – 45 %
25 – 35 %
15 – 25 %
Layanan Responsif
30 – 40 %
30- 40 %
25 – 35 %
Layanan Perencanaan Individual
15 – 10 %
15 – 25 %
25 – 35 %
Dukungan Sistem dan Kolaboratif
10 – 15 %
10 – 15 %
15 – 20 %
Dengan rasio guru bimbingan dan konseling/Konselor dibanding peserta didik = 1:150 dan dengan beban tugas 24 – 40 jam/minggu (PP No. 74/2008 tentang Guru) maka perhitungan ekuwivalensi tugas guru bimbingan dan konseling/ konselor 24 -40 jam dan 150 siswa perminggu sebagai berikut.
BENTUK LAYANAN BIMBINGAN PEMBAGIAN WAKTU PELAYANA DI SMA/SMK 24 – 40 jam kerja
Layanan Dasar
20 % X (24 – 40 jam kerja) = 5 – 8 jam kerja
Layanan Responsif
35 % X (24 – 40 jam kerja) = 8 – 14 jam kerja
Layanan Perencanaan Individual
30 % X (24- 40 jam kerja) = 7 – 12 jam kerja
Dukungan sistem dan Kolaboratif
15 % X (24 -40 jam kerja) = 4 – 6 jam kerja
F. PENGEMBANGAN PEDOMAN BIMBINGAN DAN KONSELING
Rumusan kompetensi perkembangan atau kemandirian, dan kerangka program layanan bimbingan dan konseling sudah ada pada buku yang disiapkan oleh ABKIN bersama dan atas dukungan Direktorat Jenderal PMPTK, yakni Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (ABKIN; Ditjen PMPTK: 2008). Untuk selanjutnya pedoman umum tersebut perlu dikembangkan lebih operasional berupa:
1. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar dan Sederajat.
2. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Pertama dan Sederajat.
3. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Atas dan Sederajat.
4. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Kejuruan dan Sederajat.
G. PENYIAPAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING/KONSELOR PROFESIONAL
Kebutuhan Guru Bimbingan dan Konseling sebanyak 92.572 sebagaimana diberitakan Harian Kompas (Rabu, 23 Januari 2013), menghendaki penyiapan Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor secara sungguh-sungguh dan profesional. Dengan berpayung pada UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, penyiapan guru bimbingan dan konseling/konselor profesional disiapkan di LPTK melalui pendidikan akademik S1 bidang Bimbingan dan Konseling dan Pendidikan Profesi Konselor sebagai suatu keutuhan sebagaimana diatur dalam Permendiknas No. 27/2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN.
Depdiknas RI, 2008, Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.
Ditjen PMPTK, 2007, Rambu-rambu Penyelenggaraan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.
Harian Kompas, 23 Januari 2013, “Sekolah kekurangan 92.572 Guru Bimbingan dan Konseling.”
Peraturan Pemerintah RI, 2005, Nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah RI, 2008, Nomor 74 tentang Guru.
Permendiknas RI, 2008, Nomor 27 tentang Standar Kualifikasi akademik dan Kompetensi Konselor.
Permendiknas RI, 2009, Nomor 8 tentang Program Pendidikan Profesi Guru Pra jabatan.
UU RI, 2003, Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bandung, 25 Januari 2013
Kami yang bertanda tangan :
1. Doktor Bimbingan dan Konseling/ Ketua Himpunan Sarjana Bimbingan dan Konseling Indonesia (HSBKI), unsur Himpunan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)
Prof. Furqon, M.Pd., MA., Ph.D. = ……………………………
2. Magister Bimbingan dan Konseling/ Ketua Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling Nasional (MGBK N)
Syamsudin, M.Pd = ………………………
3. Doktor Bimbingan dan Konseling/ Ketua Forum Komunikasi Jurusan/Program Studi Bimbingan dan Konseling Indonesia (FK- JPBKI)
Dr. Nandang Rusmana, M.Pd. = ……………………..
4. Magister Bimbingan dan Konseling/ Ketua Ikatan Bimbingan dan Konseling Sekolah (IBKS), divisi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)
Drs. Amdani Sarjun, M.Pd. = …………………………
5. Doktor Bimbingan dan Konseling/ Sekretaris Ikatan Pendidik dan Supervisi Konseling (IPSIKON), divisi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)
Dr. Agus Taufiq, M.Pd. = …………………………

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 16 Maret 2013 inci Uncategorized

 

KODE ETIK KONSELOR INDONESIA


Oleh: Bambang Dibyo Wiyono

Posted: 16 Maret 2013

A.    PENGERTIAN KODE ETIK PROFESI

1.     Pengertian Etika

Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos”, yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu atau masyarakat untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.

2.        Pengertian Profesi

Dalam Prayitno; Erman Amti (2004) disebutkan bahwa profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya. Artinya, pekerjaan yang disebut profesi itu tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus terlebih dahulu untuk melakukan pekerjaan itu.

Profesi merupakan pekerjaan atau karir yang bersifat pelayanan bantuan keahlian dengan tingkat ketepatan yang tinggi untuk kebahagiaan pengguna berdasarkan norma-norma yang berlaku. Kekuatan dan eksistensi profesi muncul sebagai akibat interaksi timbal balik antara kinerja tenaga profesional dengan kepercayaan publik (publik trust). (Depdiknas, 2004).

3.        Pengertian Kode Etik Profesi

Kode etik adalah seperangkat standar, peraturan, pedoman, dan nilai yang mengatur mengarahkan perbuatan atau tindakan dalam suatu perusahaan, profesi, atau organisasi bagi para pekerja atau anggotanya, dan interaksi antara para pekerja atau anggota dengan masyarakat (Yusuf, 2009).

Kode etik profesi adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap tenaga profesi dalam menjalankan tugas profesi dan dalam kehidupannya dimasyarakat. Norma-norma itu berisi apa yang tidak boleh, apa yang seharusnya dilakukan, dan apa yang diharapkan dari tenaga profesi. Pelanggaran terhadap norma-norma tersebut akan mendapat sanksi (Depdiknas, 2004).

Dari beberapa pendapat tentang pengertian yang telah dipaparkan di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kode etik profesi adalah pola aturan atau norma-norma, tata cara dan pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan yang harus perhatikan oleh setiap tenaga profesi.

B.       CIRI-CIRI PROFESI

Profesi  merupakan  suatu  pekerjaan  tetapi  tidak  setiap  pekerjaan merupakan  profesi.  Adapun  pekerjaan  yang  tergolong  profesi  memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Profesi  adalah  pekerjaan  yang menuntut  keahlian  bagi  para  pelaku, baik keahlian teoritis maupun keahlian dalam praktik.
  2. Keahlian  tersebut  dipersiapkan  secara  khusus  melalui  pendidikan yang khusus sesuai dengan profesi tersebut.
  3. Profesi merupakan pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
  4. Tenaga profesional dalam melakukan tugasnya terikat oleh kode etik profesi.
  5. Para tenaga profesional tergabung dalam suatu organisasi profesi.

C.      DASAR KODE ETIK PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING

1.    Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

2.    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

3.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (pasal 28 ayat 1, 2 dan 3 tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan)

4.    Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.

5.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.

 D.      TUJUAN KODE ETIK

Ada  tujuan  tertentu  kenapa  kode  etik  profesi  diterapkan.  Tujuan dimaksud adalah:

  1. Menjunjung tinggi martabat profesi;
  2. Melindungi pihak yang menjadi layanan profesi dari perbuatan mal-praktik;
  3. Meningkatkan kualitas profesi;
  4. Menjaga status profesi;
  5. Menegakkan  ikatan  antara  tenaga  professional  dengan  profesi yang disandangnya.

E.       KODE ETIK PROFESI KONSELOR
I.        PENDAHULUAN
a.        Pengertian

Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap profesional Bimbingan dan Konseling Indonesia.

b.        Dasar/Landasan

1)        Pancasila, mengingat profesi bimbingan dan konseling merupakan usaha pelayanan terhadap sesama manusia dalam rangka  ikut membina warga negara Indonesia yang bertanggung jawab.

2)        Tuntutan profesi, yang mengacu pada kebutuhan dan kebahagiaan klien sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

 

  II.     KUALIFIKASI DAN KEGIATAN PROFESIONAL KONSELOR
A.      Kualifikasi

Konselor yang tergabung dalam Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia harus memiliki (1) nilai, sikap, keterampilan, pengetahuan dan wawasan dalam bidang profesi konseling, dan (2) Pengakuan atas kemampuan, dan kewenangan sebagai konselor.

1)        Nilai, Sikap, Pengetahuan, Wawasan, Keterampilan

  1. Agar dapat memahami orang lain dengan sebaik-baiknya, konselor harus terus-menerus berusaha mengembangkan dan menguasai dirinya. Ia harus mengerti kekurangan dan prasangka-prasangka pada dirinya sendiri, yang dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang lain dan mengakibatkan rendahnya layanan mutu profesional serta merugikan orang lain.
  2. Dalam melakukan tugasnya membantu klien, konselor harus memperlihatkan sifat-sifat sederhananya, rendah hati, sabar, menepati janji, dapat dipercaya, jujur, tertib, dan hormat.
  3. Konselor harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap saran dan peringatan yang diberikan kepadanya, khususnya dari rekan-rekan seprofesi dalam hubungannya dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan tingkah laku profesional sebagaimana diatur dalam kode etik ini.
  4. Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus mengusahakan mutu kerja yang setinggi mungkin, kepentingan pribadi, termasuk keuntungan finansial dan material tidak diutamakan.
  5. Konselor harus terampil menggunakan teknik-teknik dan prosedur-prosedur khusus yang dikembangkan tas dasar wawasan yang luas dan kaidah-kaidah ilmiah.

2)        Pengakuan Wewenang

Untuk dapat bekerja sebagai konselor atau guru pembimbing, diperlukan pengakuan keahlian dan kewenangan oleh badan khusus yang dibentuk oleh organisasi profesi atas dasar wewenang yang diberikannya oleh pemerintah.

B.       Informasi, Testing, dan Riset

1)        Penyimpanan dan penggunaan informasi

  1. Catatan tentang klien yang meliputi data hasil wawancara, testing, surat-menyurat, perekaman, dan data lainnya, semuanya merupakan informasi yang bersifat rahasia dan hanya boleh digunakan untuk kepentingan klien. Penggunaan data/informasi untuk keperluan riset atau pendidikan calon konselor dimungkinkan, sepanjang identitas klien dirahasiakan.
  2. Penyampaian informasi mengenai klien kepada keluarga atau kepada anggota profesi yang lain, membutuhkan persetujuan klien.
  3. Penggunaan informasi tentang klien dalam rangka konsultasi dengan anggota profesi yang sama atau yang lain dapat dibenarkan, asalkan untuk kepentingan klien dan tidak merugikan klien.
  4. Keterangan mengenai bahan profesional hanya boleh diberikan kepada orang yang berwenang menafsirkan dan menggunakannya.

2)        Testing

  1. Suatu jenis tes hanya boleh diberikan oleh petugas yang berwenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya. Konselor harus selalu memeriksa dirinya apakah ia mempunyai kewenangan yang dimaksud.
  2. Testing diperlukan apabila proses pemberian layanan memerlukan data tentang sifat atau ciri kepribadian yang menuntut adanya perbandingan dengan sampel yang lebih luas, misalnya taraf intelegensi, minat, bakat khusus dan kecenderungan pribadi seseorang .
  3. Data yang diperoleh dari hasil testing itu harus diintegrasikan dengan informasi lain yang telah diperoleh baik melalui klien sendiri ataupun dari sumber lain.
  4. Data hasil testing harus diperlakukan setaraf dengan data dan informasi lain tentang klien.
  5. Konselor harus memberikan orientasi yang tepat kepada klien mengenai alasan digunakannya tes dan apa hubungannya dengan masalahnya. Hasilnya harus disampaikan kepada klien dengan disertai penjelasan tentang arti dan kegunaannya.
  6. Penggunaan suatu jenis tes harus mengikuti pedoman atau petunjuk yang berlaku bagi tes yang bersangkutan.
  7. Data hasil testing hanya dapat diberitahukan kepada pihak lain sejauh pihak lain yang diberitahu itu ada hubungannya dengan usaha bantuan atau layanan kepada klien dan tidak merugikan klien.

3)        Riset

  1. Dalam melakukan riset, dimana tersangkut manusia dengan masalahnya sebagai subjek, harus dihindari hal-hal yang dapat merugikan subjek yang bersangkutan.
  2. Dalam melaporkan hasil riset di mana tersangkut klien sebagai subjek, harus dijaga agar identitas subjek dirahasiakan.
  3. C.      Proses Layanan

1)        Hubungan dalam Pemberian Layanan

  1. Kewajiban konselor harus menangani klien berlangsung selama ada kesempatan dalam hubungan antara klien dengan konselor. Kewajiban itu berakhir jika hubungan konseling berakhir dalam arti, klien mengakhiri hubungan kerja dengan konselor tidak lagi bertugas sebagai konselor.
  2. Klien sepenuhnya berhak untuk mengakhiri hubungan dengan konselor, meskipun proses konseling belum mencapai hasil yang kongkret. Sebaliknya konselor tidak akan melanjutkan hubungan apabila klien ternyata tidak memperoleh manfaat dari hubungan itu.

2)        Hubungan dengan Klien

  1. Konselor harus menghormati harkat pribadi, integritas, dan keyakinan klien.
  2. Konselor harus menempatkan kepentingan kliennya diatas kepentingan pribadinya. Demikian pun dia tidak boleh memberikan layanan bantuan di luar bidang pendidikan, pengalaman dan kemampuan yang dimilikinya.
  3. Dalam menjalankan tugasnya, konselor harus tidak mengadakan pembedaan klien atas dasar suku, bangsa, warna kulit, agama, atau status sosial ekonomi.
  4. Konselor tidak akan memaksa untuk memberikan bantuan kepada seseorang dan tidak akan mencampuri urusan pribadi orang lain tanpa izin diri orang yang bersangkutan.
  5. Konselor bebas memilih siapa yang akan diberi bantuan, akan tetapi ia harus memperhatikan setiap permintaan bantuan, lebih-lebih dalam keadaan darurat atau apabila banyak orang yang menghendaki.
  6. Kalau konselor sudah turun tangan membantu seseorang, maka dia tidak akan melalaikan klien tersebut, walinya atau orang yang bertanggung jawab kepadanya.
  7. Konselor harus menjelaskan kepada klien sifat hubungan yang sedang dibina dan batas-batas tanggung jawab masing-masing, khususnya sejauhmana  dia memikul tanggung jawab terhadap klien.
  8. Hubungan konselor mengandung kesetiaan ganda kepada klien, masyarakat, atasan dan rekan-rekan sejawat.
    1. Apabila timbul masalah dalam soal kesetiaan ini, maka harus diperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dan juga tuntutan profesinya sebagai konselor. Dalam hal ini terutama sekali harus diperhatikan adalah kepentingan klien.
    2. Apabila timbul masalah antara kesetiaan antara klien dan lembaga tempat konselor bekerja, maka konselor harus menyampaikan situasinya kepada klien dan atasannya. Dalam hal ini klien harus diminta untuk mengambil keputusan apakah ia ingin meneruskan hubungan konseling dengannya.
  9. Konselor tidak akan memberikan hubungan profesional kepada sanak keluarga, teman-teman karibnya, apabila hubungan profesional dengan orang-orang tersebut mungkin dapat terancam oleh kaburnya peranan masing-masing.
  10. D.      Konsultasi dan Hubungan dengan Rekan Sejawat atau Ahli Lain

1)        Konsultasi dengan Rekan Sejawat

Dalam rangka pemberian layanan kepada seorang klien, kalau konselor merasa ragu-ragu tentang suatu hal maka ia harus berkonsultasi dengan rekan-rekan sejawat se lingkungan seprofesi. Untuk itu ia harus mendapat izin terlebih dahulu dari klien.

2)        Alih Tangan Tugas

  1. Konselor harus mengakhiri hubungan konseling dengan seseorang klien apabila pada akhirnya dia menyadari tidak dapat memberikan pertolongan kepada klien tersebut, baik karena kurangnya kemampuan keahlian maupun keterbatasan pribadinya.
  2. Dalam hal ini konselor mengizinkan klien untuk berkonsultasi dengan petugas atau badan lain yang lebih ahli, atau ia akan mengirimkan kepada orang atau badan ahli tersebut, tetapi harus dasar persetujuan klien. Bila pengiriman ke ahli lain disetujui klien, maka menjadi tanggung jawab konselor untuk menyarankan kepada klien orang atau badan yang mempunyai keahlian khusus.
  3. Bila konselor berpendapat klien perlu dikirim ke ahli lain, akan tetapi klien menolak pergi kepada ahli yang disarankan oleh konselor, maka mempertimbangkan apa baik buruknya kalau hubungan yang sudah ada mau diteruskan lagi.

III.     HUBUNGAN KELEMBAGAAN
A.      Prinsip Umum

  1. Prinsip-prinsip yang berlaku dalam layanan individual, khususnya tentang penyimpanan serta penyebaran informasi tentang klien dan hubungan konfidensial antara konselor dengan klien, berlaku juga bila konselor bekerja dalam hubungan kelembagaan.
  2. Apabila konselor bertindak sebagai konsultan pada suatu lembaga, maka harus ada pengertian dan kesepakatan yang jelas antara konselor dan pihak lembaga dan dengan klien yang menghubungi konselor di tempat lembaga itu. Sebagai seorang konsultan, konselor harus tetap mengikuti dasar-dasar pokok profesi dan tidak bekerja atas dasar komersial.

B.       Keterkaitan Kelembagaan

  1. Setiap konselor yang bekerja dalam hubungan kelembagaan turut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan kerjasama dengan pihak atasan atau bawahannya, terutama dalam rangka layanan konseling dengan menjaga rahasia pribadi yang dipercayakan kepadanya.
  2. Peraturan-peraturan kelembagaan yang diikuti oleh semua petugas dalam lembaga harus dianggap mencerminkan kebijaksanaan lembaga itu dan bukan pertimbangan pribadi. Konselor harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada atasannya. Sebaliknya ia berhak pula mendapat perlindungan dari lembga itu dalam menjalankan profesinya.
  3. Setiap konselor yang menjadi anggota staf suatu lembaga berorientasi kepada kegiatan-kegiatan dari lembaga itu dari pihak lain, pekerjaan konselor harus dianggap sebagai sumbangan khas dalam mencapai tujuan lembaga itu.
  4. Jika dalam rangka pekerjaan dalam suatu lembaga, konselor tidak cocok dengan ketentuan-ketentuan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berlaku di lembaga tersebut, maka ia harus mengundurkan diri dari lembaga tersebut.

 

IV.     PRAKTIK MANDIRI DAN LAPORAN KEPADA PIHAK LAIN
A.      Konselor Praktik Mandiri (Privat)

  1. Konselor yang berpraktik mandiri (privat) dan tidak bekerja dalam hubungan kelembagaan tertentu, tetap menaati segenap kode etik jabatannya sebagai konselor, dan berhak untuk mendapat dukungan serta perlindungan diri dari rekan-rekan seprofesi.
  2. Konselor yang berpraktik mandiri wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari organisasi profesi (ABKIN).

B.       Laporan Kepada Pihak Sekolah

Apabila konselor perlu melaporkan suatu hal tentang klien kepada pihak lain (misalnya: pimpinan lembaga tempat ia bekerja), atau kalau ia diminta keterangan tentang klien oleh petugas suatu badan diluar profesinya dan ia harus memberikan informasi itu, maka dalam memberikan informasi itu ia harus sebijaksana mungkin dengan berpedoman pada pegangan bahwa dengan berbuat begitu klien tetap dilindungi dan tidak dirugikan.

V.     KETAATAN PROFESI
A.      Pelaksanaan Hak dan Kewajiban

  1. Dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sebagai konselor, konselor harus selalu mengaitkannya dengan tugas dan kewajibannya terhadap klien dan profesi sebagaimana dicantumkan dalam kode etik ini dan semuanya itu sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kebahagiaan klien.
  2. Konselor tidak dibenarkan menyalahgunakan jabatannya sebagai konselor untuk maksud untuk mencari keuntungan pribadi atau maksud-maksud lain yang dapat merugikan klien ataupun menerima komisi atau balas jasa dalam bentuk yang tidak wajar.

B.       Pelanggaran Kode Etik

  1. Konselor harus selalu mengkaji tingkah laku dan perbuatannya tidak melanggar kode etik ini.
  2. Konselor harus senantiasa mengingat bahwa pelanggaran terhadap kode etik ini akan merugikan mutu proses dan hasil layanan yang diberikan, merugikan klien, lembaga dan pihak-pihak lain yang terkait, serta merugikan diri konselor sendiri dan profesinya.
  3. Pelanggaran terhadap kode etik ini akan mendapatkan sanksi berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh ABKIN.

Kode etik profesi konselor mengalami perubahan pada tahun 2004 ketika organisasi profesi konselor yang awalnya IPBI menjadi ABKIN, berikut perubahan-perubahan konten yang terjadi:

Kode Etik 1991

Kode Etik 2004

Anggota memiliki latar belakang yang berbeda asalkan bergelut dalam dunia bimbingan Latar belakang anggota difokuskan pada konselor
Tidak dijelaskan mengenai kualifikasi yang harus dimiliki oleh konselor Dijelaskan kualifikasi yang harus dimiliki konselor
Terdapat klasifikasi pemberian bantuan karenakan perbedaan latar belakang Kompetensi pemberian bantuan disamakan, adapun alih tangan kasus merupakan hal yang berada diluar kewenangan konselor
Dalam hal hubungan kelembagaan hanya dicantumkan “tetap mementingan klien dan lembaga” Telah diruntut pula tanggung jawab, kebijaksanaan, ketentuan dan pengetahuan
Belum terdapat hak praktik mandiri karena IPBI tidak mengikat profesi Sudah terdapat ketentuan mengenai praktik mandiri konselor
Belum disinggung mengenai hak dan kewajiban; sanksi terhadap pelanggaran kode etik Sudah disinggung hak dan kewajiban; disinggung mengenai sanksi terhadap pelanggaran kode etik

F.       PELAKSANAAN KODE ETIK PROFESI KONSELOR

Kode etik konselor Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap anggota profesi bimbingan dan konseling Indonesia. Kode etik konselor diperlukan untuk melindungi anggota profesi sendiri dan kepentingan publik. Sebagai penjamin mutu layanan yang diberikan oleh konselor, kode etik berperan sebagai pedoman tingkah laku konselor dalam menjalankan aktifitas profesionalnya dan setiap konselor harus melaksanakan kode etik profesi dengan sebaik-baiknya. Beberapa fenomena di lapangan yang diberitakan dalam media cetak dan fenomena selama mengikuti kegiatan PPL II ketika menempuh S1 Bimbingan Konseling, di salah satu sekolah di kota Malang mengindikasikan masih adanya penyimpangan kode etik yang dilakukan konselor.

Secara umum tujuan diadakannya bimbingan dan konseling yaitu untuk membantu peserta didik atau siswa dalam memahami diri dan lingkungan, mengarahkan diri, menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengembangkan potensi dan kemandirian diri secara optimal pada setiap tahap perkembangannya. Artinya dalam melaksanakannya guru pembimbing dituntut untuk dekat, akrab dan bersahabat dengan segala pola tingkah laku dan kepribadian siswa dalam batasan tertentu sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah yang dihadapi siswa.

Namun kenyataannya yang terjadi di lapangan cenderung berbeda dengan tujuan umum di atas. Yang terjadi adalah jarak pemisah yang cukup jauh antara guru BK dan siswa. Siswa merasa enggan untuk secara suka rela mendatangi konselor dalam mengatasi masalahnya. Berikut ini adalah beberapa fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan BK di sekolah:

Guru BK sebagai polisi sekolah

Pada beberapa sekolah, guru BK adalah sosok yang “ditakuti”. Hal ini wajar karena dalam “mendisiplinkan” siswa. terkadang dilakukan dengan interograsi, razia, dan punishment (hukuman). Sehingga jika ditanyakan kepada siswa mengenai guru BK, banyak siswa yang merasa benci, tidak bersahabat dan cenderung memilih lebih baik menghindar saat bertemu guru BK, terutama saat mereka sedang dalam posisi melakukan kesalahan.

Pelaksanaannya masih menggunakan pola tidak jelas

Yang dimaksud dengan pola tidak jelas disini adalah tidak adanya aturan baku atau pola-pola tertentu yang ditetapkan sebagai acuan dalam menyelesaikan masalah. Dalam penerapannya guru cenderung melakukan cara-cara yang “kasar” dan justru tidak mendidik. Misalnya ketika seorang siswa ketahuan merokok, siswa tersebut malah disuruh menghisap sepuluh batang rokok sekaligus. Hal ini tidaklah tepat. Memang tindakan ini akan dapat memberikan efek jera, namun disisi lain menghisap rokok dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang bersamaan, justru akan membahayakan kesehatan siswa

Pendekatan yang dilakukan pada siswa bermasalah / konseli masih menggunakan pendekatan klinik – klasik.

Dalam hal ini fokus penanganan BK dilakukan hanya kepada siswa yang berkeadaan dan mengalami hal-hal negatif, seperti nakal, membolos, malas membuat PR, dan lain sebagainya. Hubungan antara siswa dan guru pembimbing pun adalah sebagai atasan dan bawahan. Sehingga terdapat jarak yang sangat jauh antara keduanya.

Fenomena diatas jauh sekali dengan harapan bimbingan konseling sebagai profesi yang profesional. Masih adanya praktek bimbingan konseling yang tidak sesuai dengan tujuan dan kode etik bimbingan konseling yang sudah di rumuskan oleh ABKIN.  Namun hal ini tidak bisa kita generalisasi atau berfikir secara umum jika kode etik bimbingan konseling tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya, karena Puspitasari (2010) dalam penelitiannya tentang pelaksanaan kode etik konselor SMA/SMK se kota Malang menunjukkan bahwa 1) 55% konselor berada pada taraf tinggi, 45% konselor berada pada taraf cukup, 0% konselor berada pada taraf rendah dalam pelaksanaan kode etik, 2) Pada aspek kualifikasi dan kegiatan profesional konselor 42,5% konselor berada pada taraf tinggi, 57,5% cukup, dan 0% rendah, 3) pada aspek hubungan kelembagaan dan laporan kepada pihak lain 20% konselor berada pada taraf tinggi, 80% cukup, dan 0% rendah, 4) pada aspek ketaatan kepada profesi 95% konselor berada pada taraf tinggi, 5% cukup, dan 0% rendah. Jika kita menelaah hasil penelitian diatas, maka bisa kita simpulkan bahwa pelaksanaan kode etik konselor di SMA/SMK se Kota Malang sebenarnya cukup tinggi.

 

DAFTAR RUJUKAN

Arjanto, Paul. 2011. Kode Etik Bimbingan Konseling di Indonesia. (Online) (http://paul-arjanto.blogspot.com/2011/06/konteks-tugas-konselor.html, diakses, 20 November 2011)

Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia. 2002. Kode Etik Jabatan Profesional Konselor. Bandung: ABKIN.

Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia. 2005. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. ABKIN.

Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi. 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Elviza, Husna. 2009. Pentingnya Menjalankan Profesi Secara Etis. (Online) (http://e3l.blogspot.com/2009/05/makalah-kode-etik-profesi.html diakses 20 November 2011)

Kuntjojo. 2009. Profesionalisasi Bimbingan dan Konseling (Online) (www.iki-indonesia.com diakses 20 November 2011).

Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Rineka Cipta: Jakarta.

Yusuf, Syamsu. 2009. Kode Etik Profesi Konselor Indonesia (Draf). Bandung: ABKIN.

 
2 Komentar

Ditulis oleh pada 16 Maret 2013 inci Uncategorized

 

TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK DAN IMPLIKASINYA DALAM SETTING BIMBINGAN KONSELING


Oleh: Bambang Dibyo Wiyono

Posted: 16 Maret 2013

A.      KONSEP DASAR TEORI KONSTRUKTIVISTIK

Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Menurut Slavin (2006) teori konstruktivistik adalah teori yang menyatakan bahwa peserta didik secara individual harus menemukan dan mentransformasi informasi kompleks, mengecek informasi yang baru terhadap aturan-aturan informasi yang lama, dan merevisi aturan-aturan yang lama bila sudah tidak sesuai lagi.

Menurut Santrock (2008) konstruktivisme adalah pendekatan untuk pembelajaran yang menekankan bahwa individu akan belajar dengan baik apabila mereka secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dan pemahaman.

Hakikat pembelajaran konstruktivistik menurut Brooks & Brooks (1993) adalah pengetahuan bersifat non-objektif, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna. Atas dasar ini, maka siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalaman dan perspektif yang digunakan dalam menginterpretasikannya.

Gambar: Carta Alir Proses Konstruktivisme

B.       PERBEDAAN ANTARA TEORI BEHAVIORISTIK DENGAN TEORI KONSTRUKTIVISTIK

Sebelum membahas lebih jauh tentang teori belajar dan pembelajaran konstruktivistik maka lebih dahulu perlu disajikan perbandingan antara teori behavioristik dengan teori konstruktivistik mengingat keduanya memiliki perbedaan yang cukup mendasar.

Aspek

Behavioristik

Konstruktivistik

Pengetahuan Objektif, pasti, dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi Tidak objektif, temporer, selalu berubah, dan tidak menentu
Belajar Perolehan pengetahuan Penyusunan pengetahuan dari pengalaman nyata, aktivitas kolaboratif, refleksi serta interpretasi
Mengajar Pemindahan pengetahuan ke orang yang belajar Penataan lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan
Pemahaman Siswa diharapkan memiliki pemahaman yangs sama terhadap pengetahuan yang diajarkan Siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalaman, dan persepektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya
Mind Men-jiplak struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan Sebagat alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistik

C.      TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
1.        Ragam Teori Konstruktivistik
a.        Konstruktivistik Kognitif

Ketidakpuasan terhadap behaviorisme yang fokus pada tingkah laku teramati telah membawa Jean Piaget untuk mengembangkan satu pendekatan belajar yang lebih menaruh perhatian pada “apa yang terjadi pada kepala anak”. Pengertian belajar menurut konstruktivistik kognitif adalah proses perubahan dalam struktur kognitif seorang individu sebagai hasil konstruksi pengetahuan yang bersifat individual dan internal. Adapun konsep pokok Jean Piaget sebagai berikut:

1)        Equilibrium/Disequilibrium

Situasi ketidaktahuan atau konflik dalam diri individu yang disebabkan rasa ingin tahu, menyebabkan seseorang berada dalam ketidakseimbangan yang disebut disequilibrium. Manusia berusaha mengatasi kondisi disequilibrium yang tidak menyenangkan dengan bertanya, membaca, mendatangi kejadian, dan semacamnya agar tercipta kondisi equilibrium. Sehingga disequilibrium menjadi drive for equilibration atau menjadi dorongan/motivasi untuk bertindak.

2)        Organisasi & Skema

Perlu diketahui bahwa apa yang dipelajari anak tidak masuk begitu saja kealam berpikir anak, atau dengan kata lain apa yang masuk, tidak tersimpan secara acak-acakan ke dalam otak. Apa yang masuk akan disusun sedemikian rupa agar berkaitan dengan kerangka berpikir yang dimilikinya yang disebut pengorganisasian.

Setiap struktur atau hirarki dari pengorganisasian semua pengetahuan yang dimiliki individu terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan membentuk kerangka struktur yang disebut skema. Dalam pembelajaran, tiap materi yang dipelajari sebaiknya dikaitkan dengan pengalaman anak sebelumnya (skema) agar terkoneksi dengan struktur kognitif siswa.

3)        Adaptasi : Asimilasi & Akomodasi

Terkadang saat memperoleh pengalaman baru dan pada saat bersamaan kita mengetahui bahwa pengalaman sebelumnya yang sudah dimiliki ternyata sudah tidak sesuai lagi. Proses penyesuaian skema dengan pengalaman baru dalam upaya mempertahankan equilibrium disebut adaptasi.

Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan akomodasi adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.

Selain Piaget, ada tokoh konstruktivistik kognitif lain yakni Jerome Bruner dengan discovery learning (belajar penemuan) di mana siswa belajar dengan caranya sendiri untuk menemukan prinsip-prinsip dasar. Dalam discovery learning siswa didorong untuk belajar lebih jauh lagi menurut caranya sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa mendapatkan pengalaman-pengalaman serta melakukan eksperimen.

 b.        Konstruktivistik Sosial

Berbeda dengan konstruktivistik kognitif dimana anak cenderung lebih bebas mengkonstruk sendiri pengetahuannya dan  peran guru yang akhirnya kabur dan tidak jelas sebagai pengajar. Sebaliknya, konstruktivistik sosial yang dipelopori Vygotsky mengedepankan pengkonstruksian pengetahuan dalam konteks sosial sehingga peran guru menjadi jelas dalam membantu anak mencapai kemandirian. Dari Piaget ke Vygotsky ada pergeseran konseptual dari individual ke kolaborasi, interaksi sosial, dan aktivitas sosiakultural. Pengertian belajar menurut konstruktivistik sosial adalah proses perubahan perilaku yang terjadi sebagai akibat munculnya pemahaman baru yang dibangun dalam konteks sosial sebelum menjadi bagian pribadi individu.

Menurut Santrock (2008) salah satu asumsi penting dari konstruktivistik sosial adalah situated cognition yaitu ide bahwa pemikiran selalu ditempatkan (disituasikan) dalam konteks sosial dan fisik, bukan dalam pikiran seseorang. Konsep situated cognition menyatakan bahwa pengetahuan dilekatkan dan dihubungkan pada konteks di mana pengetahuan tersebut dikembangkan. Jadi idealnya, situasi pembelajaran diciptakan semirip mungkin dengan situasi dunia nyata.

Menurut Vygotsky dalam Slavin (2008) ada empat prinsip konstruktivistik sosial:

1)        Pembelajaran Sosial (social learning)

Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap. Pembelajaran kooperatif yaitu pembelajaran yang terjadi ketika murid bekerja dalam kelompok kecil untuk saling membantu dalam belajar.

2)        Zone of Proximal Development (ZPD)

Bahwa siswa akan mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer). Bantuan atau support diberikan agar siswa mampu mengerjakan tugas atau soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya daripada tingkat perkembangan kognitif anak.

Bila materi yang diberikan di luar ZPD maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, materi tersebut tidak menantang atau terlalu mudah untuk diselesaikan. Kedua, materi yang disajikan terlalu tinggi dibandingkan kemampuan awal sehingga anak kesulitan untuk menguasai apalagi menyelesaikannya, bahkan anak bisa mengalami frustasi.

3)        Cognitive Apprenticeship

Yaitu proses yang digunakan seorang pelajar untuk secara bertahap memperoleh keahlian melalui interaksi dengan pakar, bisa orang dewasa atau teman yang lebih tua/lebih pandai.  Pengajaran siswa adalah suatu bentuk masa magang/pelatihan. Awalnya, guru memberi contoh kepada siswa kemudian membantu murid mengerjakan tugas tersebut. Guru mendorong siswa untuk melanjutkan tugasnya secara mandiri.

4)        Pembelajaran Termediasi (Mediated Learning)

Vygostky menekankan pada scaffolding yaitu bantuan yang diberikan oleh orang lain kepada anak untuk membantunya mencapai kemandirian. Siswa diberi  masalah  yang  kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu:

  1. Siswa mencapai keberhasilan dengan baik.
  2. Siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan.
  3. Siswa gagal meraih keberhasilan.

Dari uraian di atas maka secara garis besar perbedaan antara konstruktivistik kognitif dan konstruktivistik sosial sebagai berikut:

Aspek

Konstruktivistik Kognitif

Konstruktivistik Sosial

Pengetahuan Dibangun secara individual dan internal. Sistem pengetahuan secara aktif dibangun oleh pebelajar berdasarkan struktur yang sudah ada Dibangun dalam konteks sosial sebelum menjadi bagian pribadi individu
Pandangan terhadap interaksi Menimbulkan disequilibration yang mendorong individu mengadaptasi skema-skema yang ada Meningkatkan pemahaman yang telah ada sebelumnya dari hasil interaksi
Belajar Proses asimilasi dan akomodasi aktif pengetahuan-pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang sudah ada Integrasi siswa ke dalam komunitas pengetahuan. Kolaborasi informasi baru untuk meningkatkan pemahaman
Strategi belajar Experience based & discovery oriented Sharing & Cooperative learning
Peran guru Minimal & lebih membiarkan siswa menemukan sendiri ide sehingga posisi guru sebagai pengajar menjadi kabur Penting dalam membantu (scaffolding) siswa mencapai kemandirian melalui interaksi sosial.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

2.        Nilai-nilai Konstruktivistik

Menurut Lebow dalam Hitipeuw (2009) nilai-nilai konstruktivistik yang utama adalah:

  1. Collaboration: apakah tugas-tugas pembelajaran dicapai melalui kerjasama dengan komunitasnya atau tidak?
  2. Personal autonomy: apakah kepentingan pribadi pembelajar menentukan kegiatan dan proses pembelajaran yang diterimanya?
  3. Generativity: apakah ada kemungkinan pembelajar didorong untuk membangun dan menemukan sendiri prinsip-prinsip dan didorong untuk mengelaborasi apa yang diterima?
  4. Reflectivity: apakah setelah pembelajaran selesai misalnya, pembelajar bisa melihat manfaat dari apa yang telah dipelajarinya dan apakah dia menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk memperbaiki belajarnya sesuai dengan konteksnya?
  5. Active engagement: apakah setiap individu terlibat secara aktif dalam belajar untuk membangun pemahamannya atau pembelajar lebih pada menerima saja apa yang diberikan?
  6. Personal relevance: apakah pembelajar bisa melihat keterkaitan dari apa yang dipelajarinya dengan kehidupannya sendiri?
  7. Pluralism: apakah pembelajarannya tidak menekankan pada satu cara atau satu solusi? Apakah semua pendapat pribadi mendapat tempat dalam dialog pembelajaran?

3.        Prinsip-prinsip Utama Konstruktivistik dalam Pembelajaran

Menurut Hitipeuw (2009) prinsip-prinsip utama konstruktivistik dalam pembelajaran di kelas adalah:

  1. The best learning is situated learning. Pembelajar memecahkan masalah, menjalankan tugas, belajar materi baru dalam suatu konteks yang bermanfaat bagi pembelajar dan berkaitan dengan dunia nyata.
  2. Pembelajar dalam proses belajarnya mendapatkan scaffolding yang bisa datang dari guru atau teman dalam mengembangkan pemahaman atau keterampilan barunya. Di sini, konstruktivistik mendorong apprenticeship approach (cognitive apprenticeship), menunjukkan pada proses di mana seorang pembelajar memperoleh keahlian secara perlahan-lahan melalui interaksi dengan seorang ahli, apakah seorang dewasa atau dua orang yang lebih maju darinya.
  3. Mengkaitkan semua kegiatan belajar ke dalam tugas atau problema yang lebih besar. Tujuannya agar pembelajar dapat melihat relevansi tujuan belajarnya yang spesifik dan kaitannya dengan tugas yang lebih besar dan kompleks sehingga kelak mereka dapat berfungsi lebih efektif dalam kehidupan nyata.
  4. Membantu pembelajar dalam mengembangkan rasa memiliki atas semua masalah dan tugasnya. Jadi bukan sekedar lulus tes.
  5. Mendesain tugas yang autentik. Membuat tugas-tugas yang menantang kognitif siswa dalam belajar sains misalnya seperti layaknya ilmuwan. Problem atau tugas bisa dinego dengan pembelajar agar sesuai dengan tuntutan kognitif dan dapat mendorong rasa memiliki.
  6. Mendesain tugas dan lingkungan belajar yang merefleksikan kompleksitas lingkungan yang kelak pembelajar diharapkan berfungsi di dalamnya.
  7. Memberi kesempatan bagi pembelajar untuk memiliki dan menemukan proses mendapatkan solusi.
  8. Mendesain lingkungan pembelajar yang mendukung dan menantang pemikiran pembelajar. Di sini guru bertindak sebagai konsultan atau pelatih sesuai dengan konsep scaffolding & zone of proximal development dari Vygotsky.

Selain prinsip di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran konstruktivistik, yaitu:

1)    Mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan;

2)    Mengutamakan proses;

3)    Menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial;

4)    Pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.

4.        Kelebihan dan Kekurangan Teori Konstruktivistik
a.        Kelebihan :

1)    Pembelajaran konstruktivistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri.

2)    Pembelajaran konstruktivistik memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.

3)    Pembelajaran konstruktivistik memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada saat yang tepat.

4)    Pembelajaran konstruktivistik memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks.

5)    Pembelajaran konstruktivistik mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.

6)    Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.

b.        Kelemahan :

1)        Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ahli sehingga menyebabkan miskonsepsi.

2)        Konstruktivistik menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda.

3)        Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.

D.      IMPLIKASI TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK DALAM SETTING BK

Berdasarkan teori belajar dan pembelajaran konstruktivistik maka ada beberapa penerapan dalam bimbingan dan konseling yaitu:

1.        Bimbingan kelompok

Menurut Romlah (2006) bimbingan kelompok adalah proses pemberian bantuan yang diberikan pada individu dalam situasi kelompok. Bimbingan kelompok ditujukan untuk mencegah timbulnya masalah pada siswa dan mengembangkan potensi siswa. Ada beberapa teknik yang biasa digunakan dalam pelaksanaan bimbingan kelompok antara lain: pemberian informasi (ekspositori), diskusi kelompok, pemecahan masalah (problem solving), penciptaan suasana kekeluargaan (home room), permainan peranan (role playing), karyawisata, dan permainan simulasi.

2.        Konseling kelompok

Menurut Romlah (2006) konseling kelompok adalah usaha bantuan yang diberikan kepada individu dalam situasi kelompok dalam rangka memberikan kemudahan atau kelancaran dalam perkembangan individu yang bersifat perbaikan dan pencegahan.

3.        Konseling Teman Sebaya (Peer Konseling)

Konseling  teman sebaya sebagai suatu ragam tingkah laku membantu secara interpersonal yang dilakukan  oleh  individu  nonprofesional  yang  berusaha  membantu  orang  lain. Konseling sebaya memungkinkan siswa untuk memiliki keterampilan-keterampilan guna mengimplementasikan pengalaman kemandirian dan  kemampuan  mengontrol  diri  yang  sangat  bermakna  bagi  remaja.  Konseling  sebaya memberikan kontribusi pada dimilikinya pengalaman yang kuat yang dibutuhkan oleh para remaja yaitu respect.

4.        Konseling Postmodern

Konstruktivisme sosial adalah perspektif terapeutik dalam pandangan postmodern, yang menekankan realitas klien apakah akurat atau rasional (Weishaar 1993 dalam Corey 2005). Pada dasarnya semua pengetahuan bersifat relatif karena ia selalu ditentukan oleh konstruk, budaya, bahasa atau teori yang kita terapkan pada suatu fenomen tertentu. Pendekatan konseling postmodern adalah Solution Focused Brief Therapy (SFBT) dan naratif. Dalam beberapa literatur SFBT disebut Terapi Konstruktivis (Constructivist Therapy).

DAFTAR RUJUKAN

 

Corey, G. 2005. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont,CA:Brooks/Cole.

Hitipeuw, I. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.

Ornstein, C., Levine, U.D.1984. Foundations of Education, Houghton Mifflin Company. Boston.

Rahmantyo, G. 2010. Teori Pembelajaran Kooperatif (Online) (http://blog-anakdesa.blogspot.com/2010/01/teori-belajar-kooperatif.html, diakses 6 November 2011)

Romlah, T. 2006. Teori dan Praktek Bimbingan Kelompok. Malang: Universitas Negeri Malang.

Santrock, J. W. 2008. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua (terjemahan). Jakarta: Kencana.

Slavin, R. E. 2006. Educational Psychology: Theory and Practice Eighth Edition. USA: Allyn Bacon.

Slavin, R. E. 2008. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek Edisi Kedelapan (Jilid 2). Jakarta: PT Indeks.

Winda, H. 2011. Pembelajaran Konstruktivistik. (Online) (http://windakutubuku.blogdetik.com/2011/03/24/pembelajaran-konstruktivistik/, diakses 6 November 2011)

 

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 16 Maret 2013 inci Uncategorized

 

Videokeman


videokeman mp3
My Heart Will Go on – Celine Dion Song Lyrics

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 13 November 2011 inci Uncategorized